Verily! Those who fear their Lord unseen, theirs will be forgiveness and a great reward (Al Muluk :12)

Selasa, 29 November 2011

KUNYAH, SEBUAH SUNNAH DALAM NAMA

MUQODDIMAH

Ternyata ada sebagian kalangan yang melecehkan Sunnah “kunyah[1] ”. Penulis tahu hal ini ketika membaca komentar-komentar di situs kami. Menurut mereka: sok Arab, sok alim dan lainnya. Demikianlah sikap dan komentar sebagian kalangan tentang Sunnah ini. Bagaimanakah sebenarnya hakikat permasalahannya?! In sya Alloh pada kesempatan ini, akan kita bahas tentang jawabannya. Semoga Alloh subhanahu wa ta’aala selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita.

DEFINISI KUNYAH

Kunyah adalah nama yang diawali dengan “Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki, seperti Abu Abdillah dan Ibnu Hajar. Sedangkan “Ummu” atau “Bintu” adalah untuk perempuan, seperti Ummu Aisyah dan bintu Malik.
Kunyah apabila bergabung dengan nama asli maka kunyah boleh diawalkan atau diakhirkan. Contoh Abu Hafsh Umar atau Bakr Abu Zaid. Namun yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena maksud dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada dzat bukan sebagai sifat.[2]

Kunyah secara umum merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan.[3]Seorang peyair berkata:

أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ

Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya
Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.[4]

Namun terkadang kunyah juga bisa bermakna celaan seperti Abu Jahl, Abu Lahab dan lain sebagainya.[5]



DALIL-DALIL DISYARI’ATKANNYA KUNYAH

Hadits Pertama:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَبِيُّ - صلى الله عليه وسلم-أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

“Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir (Nughoir adalah sejenis burung)?’”[6]

Imam Bukhori rahimahulloh membuat bab hadits ini dengan ucapannya “Bab kunyah untuk anak dan orang yang belum mempunyai anak”. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Imam Bukhori mengisyaratkan dalam bab ini untuk membantah anggapan orang yang melarang kunyah bagi yang belum mempunyai anak dengan alasan bahwa hal itu menyelisihi fakta.”[7]

Imam Ibnul Qosh asy-Syafi’i rahimahulloh berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah tentang bolehnya memberi kunyah kepada orang yang belum mempunyai anak.”[8]

Hadits Kedua:

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم-: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ

Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Wahai Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah radhiyallahu ‘anha selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah[9] hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.”[10]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahulloh berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum mempunyai anak. Karena hal ini termasuk adab Islam yang menurut pengetahuan kami tidak ada dalam agama-agama lainnya. Maka hendaknya kaum muslimin menerapkan Sunnah ini baik kaum pria maupun wanita.”[11]

Hadits Ketiga:

أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ. قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِأَبِى يَحْيَى.

“Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam yang memberiku kunyah Abu Yahya.’”[12]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah disyari’atkan kunyah bagi yang belum mempunyai anak, bahkan dalam shohih Bukhori dan lainnya bahwa beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam memberikan kunyah kepada putri kecil dengan Ummu Kholid.”

Sungguh disayangkan, banyak kaum muslimin yang melupakan Sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai anak banyak. Apalagi lagi yang belum mempunyai anak?![13]
Syaikh Ahmad al-Banna berkata: “Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya kunyah bagi anak kecil dan dewasa baik sudah mempunyai anak atau belum (dan ini bukanlah suatu kebohongan), baik lelaki atau wanita, dan bolehnya berkunyah dengan selain anaknya. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang namanya Bakr, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Hafsh, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Dzar, dan seterusnya banyak sekali tak terhitung.

Dibolehkan pula bagi wanita untuk berkunyah dengan nama anak orang lain sekalipun ia tidak memiliki anak, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberi kunyah ’Aisyah dengan Ummu Abdillah. Jadi, kunyah itu tidak harus memiliki anak terlebih dahulu dan tidak harus juga ia berkunyah dengan nama anaknya.

Para ulama mengatakan: “Mereka memberikan kunyah kepada anak kecil sebagai rasa optimisme bahwa dia akan hidup hingga mempunyai anak dan sebagai penghindaran diri dari gelar-gelar jelek. Oleh karenanya seorang di antara mereka mengatakan: “Cepatlah berikan kunyah untuk anak-anak kalian sebelum didahului oleh gelar.” Wallohu a’lam.”[14]

KUNYAH PARA SALAF

Berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan orang dewasa sekalipun belum mempunyai anak, maka merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak. Imam az-Zuhri rahimahulloh berkata: “Adalah beberapa sahabat, mereka berkunyah sebelum dikaruniai anak.”[15]

1. Ath-Thobroni meriwayatkan dengan sanad shohih dari Alqomah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberinya kunyah Abu Abdirrohman sebelum dikarunia anak.”
2. Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod meriwayatkan dari Alqomah radhiyallahu ‘anhu: “Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
3. Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibrahim, berkata: “Adalah Alqomah radhiyallahu ‘anhu diberi kunyah Abu Syibl padahal dia mandul tidak mempunyai anak.”
4. Al-Bukhori meriwayatkan dari Hilal al-Wazan berkata: “Urwah memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
5. Al-Bukhori dalam Tarikh Kabir meriwayatkan dari Hisyam: “Muhammad bin Sirin memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”[16]

Oleh karenanya, semua ini dapat membantah pendapat sebagian kalangan yang melarang kunyah bagi orang yang belum mempunyai anak. Jika kita ingin mengutip semuanya, maka banyak sekali ulama salaf dan ahli hadits yang memiliki kunyah[17], sehingga banyak pula ditulis kitab-kitab khusus yang membahas tentang kunyah mereka.

Dalam muqoddimah Syaikh Muhammad bin Sholih al-Murod terhadap kitab al-Muqtana fil Kuna hlm. 22-31 beliau menyebutkan lebih dari tiga puluh judul kitab tentang kunyah para perawi hadits, di antaranya adalah al-Kuna oleh Imam Muslim (2 jilid), al-Kuna wal Asma’ oleh ad-Daulabi (2 jilid), al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim Abu Ahmad, Nasai’, Ibnu Mandah, Ali bin Madini dan lain sebagainya.[18]



KUNYAH DENGAN ABUL QOSHIM

Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan mengenai penggunaan kunyah bagi kaum laki-laki dengan menggunakan kunyah Abul Qosim, beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ- صلى الله عليه وسلم-: سَمُّوْا بِاسْمِيْ, وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ

Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata, Abul Qosim shalallahu ‘alayhi wa sallam berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.” [19]

Para ulama berselisih dalam penggunaan kunyah Abul Qosim ini, al-Hafizh Ibnu Qoyyim rahimahulloh berkata: “Pendapat yang benar adalah boleh bernama dengan nama Muhammad dan dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qosim. Larangan ini lebih keras lagi pada masa beliau dan dilarang pula menggabung nama beserta kunyah beliau yakni Muhammad dan Abul Qosim.”[20]

Demikianlah penjelasan singkat tentang sunnahnya kunyah dalam nama. Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

___________________________________________________________________

[1] Baca kun-yah. Bukan kunyah.

[2] Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah Ibni Malik 1/115 dan al-Qowaid al-Asasiyyah Li Lughotil Arobiyyah hlm. 67 oleh Sayyid Ahmad al-Hasyimi.

[3] Para ulama berselisih pendapat tentang memberi kunyah kepada orang kafir dan ahli bid’ah. Pendapat yang benar pada asalnya adalah tidak boleh karena termasuk menghormati mereka, tetapi terkadang diperbolehkan apabila ada tujuan dan sebab syar’i. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah Min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ 2/584 oleh Dr. Ibrohim ar-Ruhaili hafidzahullah)

[4] Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahulloh.

[5] Bekal Menanti Si Buah Hati hlm. 36 oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafidzahullah, cet. Media Tarbiyah, Bogor.

[6] HR. Bukhari 6203, Muslim 2150
Faedah: Ibnu Qash asy-Syafi’i rahimahulloh di awal kitabnya Juz fi Fawaid Hadits Ya Aba Umair, menyebutkan bahwa sebagian manusia mencela ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya seperti hadits Abu Umair. Kata beliau: “Apakah mereka tahu bahwa hadits ini ternyata menyimpan faedah dalam masalah fiqih, adab dan faedah lainnya sehingga mencapai enam puluh faedah?!.” (Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 10/716, Mu’jam al-Mushannafat fi Fathil Bari oleh Masyhur bin Hasan hafidzahullah hlm. 167-168)

[7] Fathul Bari 10/714

[8] Juz Fiihi Fawaid Hadits Abi Umair hlm. 27, Tahqiq Shobir Ahmad al-Bathowi.

[9] Abdulloh di sini adalah keponakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yaitu Abdulloh bin Zubair radhiyallahu ‘anhu. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa ’Aisyah radhyallahu ‘anha pernah keguguran anaknya, maka riwayat ini adalah bathil secara sanad dan matan. (Lihat Tuhfatul Maudud hlm. 231 oleh Ibnu Qoyyim rahimahulloh, al-Adzkar 2/725 oleh an-Nawawi rahimahulloh, al-Ijabah hlm. 41 oleh az-Zarkasyi, Silsilah Adh-Dho’ifah no. 4137 oleh al-Albani rahimahulloh)

[10] HR. Ahmad 6/107, 151, Abu Dawud 4970, Abdur Rozzaq dalam al-Mushannaf 19858 dengan sanad shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 132

[11] Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/257

[12] HR. Ibnu Majah: 3738 dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ahadits al-Aliyat no. 25 dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 44

[13] Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/110-111. Lihat pula Nihayatul Hajah Fi Syarh Sunan Ibni Majah 2/1361 oleh as-Sindi dan Silsilah Atsar ash-Shohihah 1/14 oleh Abu Abdillah ad-Dani.

[14] Bulughul Amani fi Asrori Fathur Robbani 2/2013. Lihat pula Tuhfatul Maudud hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim dan Aunul Ma’bud 13/212 oleh Adzim Abadi.

[15] al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/26278).

[16] Lihat atsar-atsar ini dalam Fathul Bari 10/714 oleh Ibnu Hajar dan Fadhlullohi ash-Shomad 2/677 oleh Fadhlulloh al-Jilani. Dan atsar no. 2 dan 3 dishohihkan al-Albani dalam Shohih Adab Mufrod hlm. 228.

[17] Al-Hafizh Khothib al-Baghdadi berkata dalam al-Jami’ li Akhlak Rowi wa Adabi Sami’ 2/77: “Dalam ahli hadits banyak sekali para perawi yang cukup disebut dengan kunyah mereka tanpa nama dan nasab mereka karena kemasyhuran mereka dengan kunyah dan tidak dikhawatirkan tercampur dengan lainnya.”

[18] Lihat al-Baitsul Hatsits 2/594 oleh Ahmad Syakir, tahqiq Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi hafidzahullah.

[19] HR. Bukhori 3539, Muslim 2134

[20] Zaadul Ma’ad 2/347. Lihat perbedaan ‘ulama dalam masalah ini secara luas beserta dalil-dalilnya dalam Ahkamul Maulud Fi Sunnah Muthohharoh hlm. 95-103 oleh Salim asy-Syibli dan Muhammad Kholifah ar-Robbah.
Read More...

Rabu, 16 November 2011

BEDAH KISAH-KISAH TIDAK NYATA YANG TERSEBAR DI MASYARAKAT!

Oleh : Ustadz Ahmd Sabiq

Insya Alloh, tidak terlalu berlebihan kalau saya katakan bahwa kisah mempunyai pengaruh yang sangat besar pada jiwa seseorang, mulai dari anak kecil sampaipun orang dewasa bahkan terkadang yang sudah lanjut usia.
Kisah bisa mempengaruhi jiwa sehingga menjadi pemberani, jujur, berpikir optimis dan lainnya, namun disisi lainnya juga bisa mempengaruhinya sehingga menjadi penakut, cengeng, pemalu dan lainnya.
Oleh karena itu Alloh dalam kitab suci Al Qur’an banyak sekali menyebutkan kisah umat terdahulu, baik kisah para nabi dan orang-orang sholih untuk dijadikan ibroh kebaikannya, juga kisah kaum yang dholim untuk dijadikan pelajaran akan akibat perbuatan dholimnya.


Alloh Ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sungguh dalam kisah-kisah mereka terdapat sebuah pelajaran bagi orang-orang yang berakal.”

(QS. Yusuf : 111)

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al A’rof : 176)

begitu pula Rosululloh, beliau sering menceritakan banyak kisah yang terjadi pada ummat yang telah lampau, sebagaimana hal ini diketahui bersama oleh orang-orang yang menelaah sunnah beliau. Begitu pula dengan salafus sholeh dan para ulama’ ahlus sunnah setelahnya

II. ANTARA KISAH SHAHIH DAN LEMAH

Namun tidak semua kisah yang berkembang dimasyarakat yang dinisbahkan kepada Rosululloh, juga para sahabat, para ulama’ serta lainnya itu benar-benar shohih berasal dari mereka, akan tetapi sebagiannya adalah kisah-kisah palsu, sebagiannya lagi lemah dan sebagiannya lagi ada yang inti kisahnya benar namun dibumbui dengan beberapa tambahan yang tidak ada asal usulnya. Padahal banyak sekali kisah-kisah yang tidak shohih tersebut membahwa pengaruh terhadap penyelewengan yang tidak ringan dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah , akhlak serta lainnya.
Dan bahaya ini semakin nampak tatkala itu adalah cerita yang dinisbahkan kepada Rosululloh, karena itu bisa merupakan sebuah kedustaan atas nama beliau, padahal beliau pernah bersabda :

َمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار

“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja , maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”

(Hadits mutawatir)

dan seandainyapun kisah itu tidak sampai pada derajat kisah palsu, dan hanya sebuah cerita yang lemah sanadnya, namun menceritakannya pun merupakan sesuatu yang berbahaya dalam pandangan syar’i. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Al Albani :

“Ketahuilah, bahwa yang melakukan perbuatan ini adalah salah satu diantara dua kemungkinan :
Pertama : Mungkin orang tersebut mengetahui kelemahan hadits-hadits (yang dalam hal ini adalah hadits Rosululloh yang berupa kisah –pent) tersebut lalu dia tidak menerangkan sisi kelemahannya, maka orang semacam ini menipu kaum muslimin. Dan dia jelas-jelas masuk dalam ancaman sabda Rosululloh :

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِين
َ
“Barang siapa yang menceritakan dariku sebuah hadits yang dia sangka bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu dari pendusta.”

(HR. Muslim dalam Muqoddimah shohih beliau)

Berkata Imam Ibnu Hibban dalam kitab Adl Dlu’afa’ : 1/7-8 :

“Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ahli hadits kalau meriwayatkan sebuah hadits yang tidak shohh dari Rosululloh padahal dia mengetahuinya maka dia termasuk salah satu pendusta, padahal dhohirnya hadits tersebut menjelaskan perkara yang lebih besar lagi, dimana Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang menceritakan dariku sebuah hadits yang dia sangka bahwa itu dusta ..” dan Rosululloh tidak bersabda : “Yang dia yakini bahwa itu dusta..” maka semua orang yang masih ragu-ragu pada apa yang dia riwayatkan apakah hadits itu shohih ataukah tidak maka dia termasuk dalam ancaman hadits tersebut.”

[Ucapan Imam Ibnu Hibban ini di nukil oleh Imam Ibnu Abdil Hadi dalam Ash Shorim Al Munki hal : 165-166 dan beliau menyepakatinya]


Kedua : Atau mungkin orang tersebut tidak mengetahui kelemahan sebuah hadits yang diriwayatkannya. Dan kalau begitu, maka dia tetap berdosa juga, karena dia berani menisbahkan sebuah hadits kepada Rosululloh tanpa ilmu. Padahal Rosululloh bersabda :

عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Dari Hafsh bin Ashim bersabda : “Rosululloh bersabda : “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta, kalau dia menceritakan semua yang dia dengar.”

(HR. Muslim : 5, Abu Dawud : 4992. Lihat ash Shohihah : 205)

Maka orang ini mendapatkan bagian dosa berdusta atas nama Rosululloh, karena Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang menceritakan semua yang dia dengar akan terjerumus pada berdusta atas nama beliau. Dan dengan sebab inilah dia termasuk salah satu diantara dua pendusta, yang pertama adalah yang membuat kedustaan itu sendiri dan yang kedua adalah yang menyebarkannya.


Imam Ibnu Hibban berkata lagi 1/9 :

“Hadits ini merupakan ancaman bagi seseorang yang menceritakan semua yang dia dengar sampai dia mengetahui dengan pasti akan keshohihannya.”
Imam Nawawi juga menegaskan bahwa orang yang tidak mengetahui keshohihan sebuah hadits maka tidak boleh untuk berhujjah dengannya tanpa meneliti terlebih dahulu jika dia sanggup melakukanya atau bertanya kepada para ulama’.”

(Lihat Tamamul Minnah ha : 32-34, dan lihat juga Silsilah adl Dlo’ifah 1/10-12)

III. PERHATIAN PARA ULAMA TERHADAP HADITS, KISAH LEMAH, DAN KISAH PALSU
Para ulama’ ahlus sunnah sangat memberikan perhatian untuk memperingatkan umat dari hadits dan kisah yang lemah dan palsu. Hal ini mereka lakukan agar ummat islam bisa menerima ajaran agama mereka sebagaimana yang benar-benar pernah disampaikan oleh Rosululloh, dan membersihkan semua tambahan dan polusi yang sebabkan oleh tersebarnya hadits dan kisah yang lemah dan palsu.
Mereka berjuang sekuat tenaga untuk melawan hadits dan kisah lemah serta palsu ini dengan segenap kemampuan yang mereka miliki, diantara yang mereka lakukan adalah :
1. Meneliti sanad hadits

* Para sahabat Rosululloh adalah orang-orang terpercaya yang tidak pernah berbohong, bagaimana mungkin mereka berbohong padahal mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Alloh Ta’ala untuk menemani dan membantu Rosululloh dalam mengemban risalah dari Alloh ini ?

* Oleh karena itu kalau salah seorang dari mereka meriwayatkan sebuah hadits dari Rosululloh maka mereka langsung mempercayainya, dan itu pulalah yang dilakukan oleh para tabi’in. Namun setelah muncul fitnah, dan kaum muslimin terpecah belah menjadi berbagai kelompok dan golongan, serta munculnya orang-orang yang berani berdusta atas nama Rosululloh, maka para ulama’ mulai meneliti hadits yang mereka dengar.

* Berkata Imam Muhammad bin Sirin :

“Kami tidak pernah bertanya tentang sanad, namun tatkala muncul fitnah, maka kami mengatakan : “Sebutkan para perowi kalian.” Lalu dilihat kalau dia dari kalangan ahli sunnah maka haditsnya diterima, namun kalau dari ahli bid’ah maka haditsnya ditolak.”

* Berkata Abdulloh bin Mubarok :

“Sanad adalah bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad niscaya semua orang akan bicara semaunya sendiri.”

Perhatian pada sanad ini sangat dikedepankan oleh para ulama’ hadits dalam menerima sebuah riwayat, sehingga mereka tidak menerima kecuali yang benar-benar shohih dari Rosululloh. (Lihat As Sunnah Qoblat Tadwin oleh Muhammad Ajaj Al Khothib hal : 220-225)
2. Melipatgandakan kesungguhan dalam mencari hadits Rosululloh
Termasuk kemurahan Alloh Ta’ala yang dicurahkan kepada ummat ini adalah Alloh memanjangkan umur sebagian para sahabat Rosululloh, agar mereka bisa menjadi nara sumber yang menunjukkan kepada kaum muslimin sunnah Rosul mereka, mereka bisa menjadi tempat bertanya dan minta fatwa. Namun karena para sahabat tidak berada disatu tempat akan tetapi mereka berpencar disegala penjuru negri, maka itu mengharuskan adanya perjalanan untuk mendapatkan hadits Rosululloh yang dibawa oleh mereka, akhirnya banyak sekali para penuntut ilmu dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka yang mengadakan perjalanan berbulan-bulan demi mendapatkan hadits Rosululloh.
Ambil contoh apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabul ilmi bahwa Jabir bin Abdillah melakukan perjalanan selama satu bulan penuh untuk mendapatkan satu buah hadits dari Abdulloh bin Unais.

* Berkata Sa’id bin Musayyib :

“Saya pernah berjalan berhari-hari demi mendapat satu buah hadits.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilmi Wa fadllihi oleh Imam Ibnu Abdil Bar 1/113)

* Berkata Imam Ibnu Hibban :

“Para ulama’ yang menjaga agamanya kaum muslimin dan memberi petunjuk mereka kepada jalan yang lurus, mereka adalah orang-orang yang lebih mengutamakan menempuh perjalanan melewati padang pasir nan luas daripada harus bersenang-senang dengan tetap tinggal dikampung halaman, semua itu demi mencari sunnah Rosululloh diberbagai penjuru negeri lalu mengumpulkannya dalam kitab dan buku, sampai-sampai salah satu dari mereka ada yang berjalan ribuan kilo meter demi mencari satu hadits, juga ada yang berjalan berhari hari demi mendapatkan sebuah hadits. Ini semua agar tidak ada diantara kaum penyesat yang bisa memasuki mereka, kalau ada yang melakukan itu, maka para ulama’ tersebut segera mengetahui dan membongkar kedoknya.”

(Lihat Al Majruhin oleh Imam Ibnu Hibban 1/27 dengan sedikit perubahan)

3. Studi kritis terhadap para perowi hadits
Para ulama’ hadits sangat perhatian untuk mengetahui para perowi hadits, karena dengan cara ini mereka bisa membedakan antara sebuah hadits yang shohih dan hasan dengan sebuah hadits yang lemah dan palsu, oleh karena itu mereka mempelajari biografi setiap perowi hadits, baik yang nampak maupun bukan, baik yang menyenangkan maupun mungkin yang menyakitkan.

Pernah ada seseorang yang berkata kepada Imam Yahya bin Sa’id Al Qothon :“Tidakkah engkau takut bahwa orang-orang yang tidak engkau ambil haditsnya akan menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak ? maka beliau menjawab : “Mereka menjadi musuhku itu jauh lebih baik daripada yang menjadi musuhku adalah Rosululloh, dimana besok beliau akan mengatakan : “Kenapa engkau tidak membersihkan haditsku dari para pendusta ?.” (Lihat Al Kifayah fi Ilmir Riwayah oleh al Khothib al Baghdadi hal : 44)

Juga pernah ada yang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Sangat berat bagiku untuk mengatakan : “ Si Fulan lemah, si fulan pendusta.” Maka Imam Ahmad berkata : “Jika engkau diam, dan sayapun diam, lalu dari mana orang akan bisa mengetahui mana hadits yang shohih dengan hadits yang lemah ?.” (Lihat Al Kifayah hal : 46)

Para ulama’ telah mengerahkan segala kemampuan mereka untuk membedakan mana rowi yang lemah dengan yang terpercaya, mereka menulis banyak kitab, baik kitab yang besar maupun kecil.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah :

* Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini dalam Shohih Al Qoshosh An Nabawi
* Al Kamal Fi Asma’ir Rijal oleh imam Abdul Ghoni Al Maqdisi
* Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzi
* Tahdzibut Tahdzib oleh al Hafidz Ibnu Hajar
* Mizanul I’tidal oleh Imam Adz Dzahabi
* Lisanul Mizan oleh Al Hafidl Ibnu Hajar
* Siyar a’lamin Nubala’oleh Adz Dzahabi
* Thobaqot al Kubro oleh Ibnu Sa’ad
* Ats Tsiqot oleh Ibnu Hiban
* Al Majruhin oleh Ibnu Hibban
* Adl Dlu’afa’ wal Matrukin oleh Imam Ad Daruquthni
* At Tarikh al Kabir oleh Imam Bukhori
* Al Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim
* Adl Dlu’afa’ al Kabir oleh al Uqoili
* Al Kamil fidl Dlu’afa’ oleh Ibnu ‘Adi
* dan masih banyak lagi kitab lainnya.

4. Menulis kitab yang mengumpulkan hadits lemah dan palsu
Para ulama’ sejak zaman dahulu sangat perhatian terhadap pengumpulan hadits-hadits lemah dan palsu dalam sebuah kitab. Tujuan mereka adalah agar kaum muslimin mengetahui bahwa hadits tersebut adalah lemah atau palsu, sehingga bisa menghindarinya.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah :

* Al Maudlu’at minal Ahadits Al Marfu’at oleh Imam Ibnul Jauzi
* Al La’ali Al Mashnu’ah fil Ahaditsil Maudlu’ah oleh Imam As Suyuthi
* Tanzihusy Syari’ah al Marfu’ah min Akhbar Asy Syani’ah Al Maudlu’ah oleh Syaikh Ibnu ‘Aroq Al Kanani
* Al ‘Ilal Al Mutanahiyyah minal Ahaditsil Wahiyah oleh Imam Ibnul Jauzi
* Al Fawa’id Al Majmu’ah fil Ahadits al Maudlu’ah oleh Imam Syaukani
* Al Manarul Munif fish Shohih wadl Dlo’if oleh Imam Ibnul Qoyyim
* Silsilah Ahadits Dlo’ifah wal Maudlu’ah oleh Imam Al Albani
* Dan masih banyak kitab lainnya.

Dan para ulama’ mu’ashirin banyak yang menuliskan mengenai kisah tak nyata ini dalam sebuah risalah tersendiri, di antaranya adalah :

* Syaikh Mayhur Hasan Salman dalam kitab beliau : Qoshoshun la tastbut
* Syaikh Fauzi bin Abdur Rohman dalam Tabshirotu Ulil Ahlam min Qoshoshin fiha kalam
* Syaikh Ali bin Ibrohim Al Hasyisy dalam silsilah “Tahdzirud Da’iyah min Al Qoshosh al Wahiyah” yang beliau tulis secara berurutan dalam majalah At Tauhid di Mesir
* Syaikh Yusuf bin Muhammad Al Atiq dalam Qoshosh la Tastbut

Dan sebagian ulama’ lainnya ada yang mengumpulkan kisah kisah yang shohih dari Rosululloh, sebagai ganti dari kisah-kisah lemah tersebut, diantaranya adalah :

* Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam Qoshosh Tatsbut
* Syaikh Sulaiman Al Asyqor dalam Shohih Al Qoshos an NAbawi

5. Meletakkan kaedah untuk mengetahui hadits yang shohih dengan yang lemah
Adanya ilmu mushtholah hadits yang di buat oleh para ulama’ untuk membikin sebuah kaedah untuk bisa dibedakan hadits yang shohih dengan yang lemah. Itu semuanya adalah bukti akan kesungguhan ulama’ islam dalam membela haditsnya Rosululloh.

IV. KISAH TAK NYATA YANG DINISBATKAN KEPADA SELAIN RASULULLAH
Kalau itu bahaya kisah tak nyata yang dinisbahkan kepada Rosululloh, demikian juga dengan kisah yang dinisbahkan kepada selain Rosululloh, baik itu kepada para sahabat, para ulama’, raja, panglima dan pemimpin kaum muslimin pun merupakan perkara yang membahayakan. Diantara bahaya tersebut adalah :
1. Berdusta atas nama seorang muslim.
Merupakan sesuatu yang dipahami bersama bahwa dusta terhadap sesama muslim adalah dosa besar dan salah satu tanda kemunafikan.
Rosululloh bersabda :

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Ada empat perkara yang apabila terdapat pada seseorang maka dia itu seorang munafiq yang murni, namun kalau cuma ada salah satunya saja maka berarti dia memiliki bagian dari kemunafikan sehingga dia mau meninggalkannya, yaitu apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji tidak menepati, apabila melakukan perjanjian maka dia berkhianat dan apabila bermusuhan maka dia berbuat melampaui batas.”

(HR. Bukhori : 38, Muslim : 58 dari Abdulloh bin ‘Amr bin Ash)

2. Merusak citra mereka
Hal ini sangat nampak pada sebagian cerita, yang insya Alloh akan kita bahas satu persatu, namun cukuplah sebagai sebuah contoh kecil, yaitu:

* Kisah Amirul Mu’minin Harun Ar Rosyid, yang digambarkan bahwa beliau adalah teman karib Abu Nawas (seorang penyair zindiq dan syairnya banyak bicara tentang wanita dan khomer, meskipun dikatakan bahwa dia bertaubat diakhir hayatnya), lalu banyak minum khomer, main wanita, dan lainnya.

Wallohi ini adalah sebuah kedustaan nyata, karena beliau adalah seorang raja muslim yang dekat dengan para ulama’ dan banyak memberikan perhatian kepada sunnah Rosululloh, meskipun kita tidak menafikan kesalahan-kesalahan beliau, namun kisah dengan Abu Nawas itu adalah kedustaan.
3. Tersebarnya kisah tak nyata dikalangan kaum muslimin
Dan ini hal yang tidak bisa dipungkiri, sehingga akhirnya banyak kisah-kisah yang tidak shohih tersebut banyak dinukil diceramah-ceramah maupun dikitab, padahal semua itu hanyalah kedustaan belaka.
Dan masih banyak bahaya lainnya

VI. CONTOH KISAH TAK NYATA DI NEGERI KITA (INDONESIA)
Jangan kaget kalau saya katakan banyak banyak sekali kisah palsu yang tersebar di Indnesia dan negeri muslim lainnya, dan saya harap jangan ada seorangpun yang berpikir bahwa kisah palsu itu hanyalah dongeng yang banyak disebarkan di buku-buku dan majalah anak-anak atau di pelajaran sekolah dasar, sepertidongeng asal muasal Danau Toba, asal muasal Banyuwangi, cerita tentang kahyangan dengan bidadarinya yang bisa terbang dengan selendangnya dan lainnya, karena itu semua hanyalah dongeng kuno yang semua mengetahui bahwa itu hanyalah sebuah kedustaan.
Namun, yang saya maksud adalah kisah yang banyak disampaikan oleh para ‘ustadz, kyai, penceramah’, di antaranya adalah :
A. Kisah yang dinisbahkan kepada Rosululloh :

* kisah tentang perjalanan Nur Muhammad, yang dikatakan pindah dari rahim wanita-wanita suci sampai kepada Abdulloh bapaknya Rosululloh yang kemudian berpindah kepada Aminah ibunda Rosululloh.
* kisah seputar kelahiran Rosululloh yang dikatakan bahwa patung-patung tersungkur, yang banyak dibaca dan disampaikan saat peringatan maulid nabi
* kisah seputar hijroh Rosululloh yang dikatakan bahwa saat beliau bersama Abu Bakr di gua Tsaur maka ada laba-laba yang membuat rumah dimulut gua, juga ada burung merpati yang juga membuat sarang serta bertelur dimulut gua, serta kisah bahwa saat berada dalam gua Abu Bakr tersengat ular.
* Kisah sambutan dengan “Thola’al badru alaina” saat Rosululloh datang kekota Madinah dari Mekkah
* Kisah demonstrasi unjuk kekuatan yang dilakukan oleh kaum muslimin saat masuk islamnya Umar bin Khothob
* Dan masih banyak lainnya

B. Kisah yang dinisbahkan kepada para sahabat

* Kisah seputar perang Jamal dan Shiffin
* Kisah Tsa’labah yang tidak mau membayar zakat
* Kisah Alqomah yang tidak bisa mengucapkan kalimat tauhid saat sakarotul maut karena durhaka pada ibunya
* Dan kisah lainnya

C. Kisah yang dinisbahkan kepada para raja dan panglima muslim

* Kisah Harun Ar Rosyid dengan Abu Nawas
* Kisah seputar kehidupan Amirul Mu’minin Mu’awiyyah bin Abu Sufyan
* Kisah Thoriq bin Ziyad yang membakar perahu saat menyerang Andalus (Spanyol)
* Kisah Sholahuddin al Ayyubi yang dikatakan bahwa beliau adalah yang pertama kali memperingati maulid nabi
* Dan lainnya

D. Kisah yang dinisbahkan kepada para ulama’

* Kisah Imam Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in dengan seorang tukang cerita
* Kisah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas mimbar Masjid Jami’ Damaskus yang dikatakan bahwa beliau mengatakan : Alloh turun kelangit dunia seperti turunku dari atas mimbar ini.”
* Kisah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikatakan bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin serta kedustaan lainnya atas beliau
* Kisah Al Hafizh Ibnu Hajar, yang diceritakan bahwa belau dulunya santri bodoh lalu bertemu dengan air yang menetes pada batu cadas dan mampu melobanginya, sehingga beliau disebut Ibnu Hajar yang artinya anak batu

E. Kisah-kisah seputar Indonesia
Dinegeri kita berkembang banyak cerita yang harus diberi sebuah tanda tanya besar akan keshohihannya, diantaranya adalah :

* Kisah Sunan Kalijaga yang katanya menunggu tongkat sunan Bonang dipinggir kali dalam waktu yang sangat lama sehingga tubuhnya ditumbuhi lumut air dan tumbuhan
* Kisah Syaikh Siti Jenar yang katanya berasal dari cacing tanah merah
* Kisah tentang sebab perang Pangeran Diponegoro dengan penjajah Belanda yang katanya hanya karena masalah tanah kuburan yang masuk dalam proyek jalan yang dibuat belanda
* Dan banyak kisah lainnya.

VII. Tashfiyah dan Tarbiyah
Mudahan sadarnya kembali sebagian ummat islam terutama di kalangan generasi mudanya untuk belajar islam, dibarengi dengan semangat untuk mepelajar islam yang murni berasal dari Rosululloh, terbebas dari hitamnya semua yang mengotori kemurnian islam, termasuk diantaranya hadits-hadits dan kisah-kisah lemah serta palsu, yang banyak mebuat berbagai macam khurofat, bid’ah, kesalahan hukum dan lain sebagainya.
Dan inilah yang selalu didengungkan oleh Imam Ahlus Sunnah dan mujaddid abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dengan syi’ar “At Tashfiyah wat Tarbiyyah” At Tasfiyyah artinya membersihkan islam dan semua yang mengotori kesucianya dan dengan isam yang sudah di tashfiyah itulah kita mentarbiyyah (mendidik) ummat, ang dengan inilah insya Alloh kaum muslimin sekarang ini akan kembali meraih kejayaanya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Apabila kalian jual beli dengan cara ‘inah dan kalian memegang ekor sapi serta kalian ridlo dengan cocok tanam juga kalian tinggalkan jihad maka Alloh akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan menghilangkannya sehingga kalian kembali kepada agama kalian.”
(HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad shohih, lihat Ash Shohihah : 11)

Alangkah benarnya apa yang dikatakan oleh Imam Malik :

لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها
“Tidak akan baik akhir ummat ini kecuali dengan sesuatu yang membuat baik pada awalnya”

Wallohu A’lam.
Read More...

HARI RAYA BERSAMA PEMERINTAH

Oleh : Ustadz Mubarak Bamuallim

Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin; sejak zaman Rasulullah shallallahualaihi wasallam , Khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum serta penguasa-penguasa kaum muslimin lainnya bahwa idul fitri(1) selalu ditetapkan oleh para Waliyyul Amr (penguasa kaum muslimin). Mengapa demikian? karena Idul fitri– demikian pula puasa Ramadhan dan ‘Idul Adha– adalah ibadah yang bersifat kolektif bersama seluruh kaum muslimin. Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari ketika kalian semua beridulfitri dan Idul Adha ketika kalian semua beriduladha” (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam “Sunannya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam “Silsilah ash-shahihah no : 224).

Aisyah radhiyallahu anha berkata :
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ ، وَ اْلفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

“Hari Raya Kurban ketika manusia berkorban dan hari Idul Fitri ketika manusia beridulfitri”.

Demikian pula sejak zaman Nabi shallallahualaihi wasallam sampai hari ini seluruh Negara muslim menetapkan permulaan puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan hilal, kecuali salah satu organisasi di negeri kita yang katanya; mengajak umat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi dalam masalah ini meleset dari ajaran keduanya, hanya kepada Allah kita mengadu.

Setelah membawakan hadits di atas, Imam Tirmidzi berkata :
فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمُعْظَمِ النَّاسِ

“Sebagian ulama mentafsirkan hadits ini dengan mengatakan, makna hadits ini bahwasanya puasa dan Idul Fitri dilaksanakan bersama jama’ah dan mayoritas umat Islam”.

Ash-Shan’ani berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ ، وَيَلْزَمُهُ حُكْمُهُمْ فِي الصَّلاَةِ ، وَاْلإِفْطَارِ ، وَاْلأُضْحِيَّةِ

“(Dalam) hadits ini terdapat dalil bahwasanya ketetapan Id akan dianggap, jika sesuai dengan seluruh kaum muslimin dan bahwasanya seorang yang secara sendirian mengetahui hari Id dengan melihat (hilal), wajib baginya menyesuaikan dengan yang lainnya, dan merupakan kelaziman baginya hukum mereka dalam shalat, berbuka dan berkorban (Subulussalam 2/462).

Dalam “Tahdziibus Sunan”, Ibnul Qayyim berkata : “Dan dikatakan bahwa dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa seseorang yang mengetahui terbitnya bulan (munculnya hilal) dengan hisab (perhitungan) manaazil qamar, boleh baginya berpuasa dan berbuka sementara yang tidak mengetahui tidak boleh”.( Tahdziib as-Sunan 3/214).

Dalam “Hasyiyah Ibnu Majah” Abu Hasan as-Sindi berkata setelah menyebut hadits di atas : “Yang tampak dari makna hadits ini bahwasanya hal-hal seperti ini (penentuan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha) bukan urusan perorangan dan mereka tidak bisa berbuat secara sendirian, akan tetapi urusannya diserahkan kepada penguasa/pemerintah dan jama’ah kaum muslimin dan wajib bagi perorangan mengikuti pemerintah dan jama’ah kaum muslimin”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“فَإِنَّا نَعْلَمُ بِالاِضْطِرَارِ مِنْ دِينِ اْلإِسْلاَمِ أَنَّ الْعَمَلَ فِي رُؤْيَةِ هِلاَلِ الصَّوْمِ أَوْ الْحَجِّ أَوْ الْعِدَّةِ أَوْ اْلإِيْلاَءِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ اْلأَحْكَامِ الْمُعَلَّقَةِ بِالْهِلاَلِ بِخَبَرِ الْحَاسِبِ أَنَّهُ يُرَى أَوْ لاَ يُرَى لاَ يَجُوزُ . وَالنُّصُوصُ الْمُسْتَفِيضَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ كَثِيرَةٌ . وَقَدّ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ . وَلاَ يُعْرَفُ فِيهِ خِلاَفٌ قَدِيمٌ أَصْلاً وَلاَ خِلاَفٌ حَدِيثٌ ؛ إلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْمُتَفَقِّهَةِ الحادثين بَعْدَ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ زَعَمَ أَنَّهُ إذَا غُمَّ الْهِلاَلُ جَازَ لِلْحَاسِبِ أَنْ يَعْمَلَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ بِالْحِسَابِ فَإِنْ كَانَ الْحِسَابُ دَلَّ عَلَى الرُّؤْيَةِ صَامَ وَإِلاَّ فَلاَ . وَهَذَا الْقَوْلُ وَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِاْلإِغْمَامِ وَمُخْتَصًّا بِالْحَاسِبِ فَهُوَ شَاذٌّ مَسْبُوقٌ بِاْلإِجْمَاعِ عَلَى خِلاَفِهِ . فَأَمَّا اتِّبَاعُ ذَلِكَ فِي الصَّحْوِ أَوْ تَعْلِيقُ عُمُومِ الْحُكْمِ الْعَامِّ بِهِ فَمَا قَالَهُ مُسْلِمٌ“

“Sesungguhnya kita mengetahui secara pasti dari ajaran Islam bahwa pelaksanaan hal-hal yang berkaitan dengan hilal seperti puasa, haji, masa ‘iddah, ilaa’ (bersumpah untuk tidak mengumpuli isteri pada batas waktu tertentu) dan yang lainnya– pelaksanaan hal-hal tersebut – dengan berita seorang ahli hisab bahwa (hilal) bisa dilihat atau tidak bisa dilihat, tidak boleh.

Nash-nash dari Nabi shallallahualaihi wasallam dalam masalah terkait sangat banyak dan kaum muslimin telah sepakat tentangnya dan tidak pernah diketahui adanya khilaf sama sekali baik dahulu maupun sekarang. Hanya saja, sebagian orang yang belajar fikih yang datang kemudian setelah tiga abad pertama menganggap jika tidak kelihatan hilal, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengamalkan hasil hisabnya untuk dirinya sendiri. Jika hisab menunjukan terlihatnya hilal, ia berpuasa dan jika tidak maka tidak boleh.

Pendapat ini, meskipun berkaitan dengan kondisi tertutupnya hilal oleh awan dan husus berlaku bagi ahli hisab, namun pendapat ini syadz (aneh) dan telah didahului oleh ijma’ kesepakatan kaum muslimin yang bertolakbelakang dengannya.

Adapun mengikuti hisab dalam kondisi cuaca cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum dengannya (dengan hisab), maka tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat demikian.( 2)

Perlu ditambahkan di sini, bahwa tidak ada dalil baik dari al-Qur’an, hadits Nabi shallallahualaihi wasallam, ijma’ ulama muslimin dan petunjuk para salaf yang shaleh dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in bahwa penentuan awal puasa Ramadhan, idul Fitri dan Idul Adha di tangan pimpinan organisasi.

Semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati dan alam pikiran kita untuk lapang mengikuti kebenaran yang berdasarkan pada dalil dan bukan hawa nafsu. Dan semoga kita diberi petunjuk kepada kebenaran, amiin.

Foot Note :
1. Juga penetapan puasa dan idul adha.
2. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah 25/132-133, Kami katakan: kecuali beberapa gelintir pemikir beberapa organisasi Islam di Indonesia, hanya kepada Allah kita mengadu keanehan mereka.
Read More...

PERSELISIHAN ADALAH RAHMAT ? YANG BENAR SAJA!

OLEH : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

“Perselisihan umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah mendengar atau membaca hadits ini. Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini.

Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban: Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan?! Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk mengorek jawabannya. Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Amiin.

B. TEKS HADITS

اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ

Perselisihan umatku adalah rahmat.

* TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir: “Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!”[1] Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim.

* Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92.[2]

* Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits…Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”.[3]

* Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!

* Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi. Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?![4]

C. MENGKRITISI MATAN HADITS

Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits:

“Dan ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”.[5]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata:

“Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syari’at yang berbeda-beda!!

Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa diantara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan! Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah karena mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an (yang artinya):

Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

(QS. An-Nisa: 82)

Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!

* Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah. Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!

Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at[6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah (yang artinya):

Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Anfal: 46)

Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan, tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini”. [7]

D. SALAH MENYIKAPI PERSELISIHAN

Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat. Allah berfirman (yang artinya):

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.

(QS. Hud: 118-119)

Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dalam kesalahan dalam memahaminya:

* Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan “Ini adalah masalah khilafiyyah“, “Jangan mempersulit manusia“. Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan zaman sekarang.[8]

* Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.

E. MEMAHAMI PERSELISIHAN

Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini[9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Perselisihan Tercela

Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:

1. Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[10]
2. Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[11]
3. Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[12].

* Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan. Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik. Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.

وَ لَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا

إِلاَّ خِلاَفًا لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ

Tidak seluruh perselisihan itu dianggap

Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat[13].

Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela

Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih. Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”.[14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:

1. Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
2. Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
3. Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat[15].

Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.

* Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.[16]

* Imam Syafi’I pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[17]

Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran. Camkanlah firman Allah, yang artinya:

Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(QS. An-Nisa’: 59)

F. Kesimpulan

Kesimpulan yang penulis sampaikan adalah sebagaimana yang dikatakan Syaikh Al-Allamah Muhammad bin ShalihAl- ‘Utsaimin

* “Termasuk di antara pokok-pokok Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari ijtihad dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling toleransi, tidak saling dengki, bermusuhan atau lainnya, bahkan mereka bersaudara sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka.

* Adapun masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para shahabat dan tabi’in, seperti masalah aqidah yang telah yang telah tersesat di dalamnya orang yang tersesat dan tidak dikenal perselisihan tersebut kecuali setelah generasi utama, maka orang yang menyelisihi shahabat dan tabiin tadi tidak dianggap perselisihannya”.[18]

ibnuramadan.wordpress.com

CATATAN KAKI:

[1] Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari juga mengomentari ucapan ini, katanya: “Merupakan aib tatkala penulis (as-Suyuthi) mencantumkan hadits palsu, bathil dan tidak ada asalnya ini, apalagi dia juga tidak mendapati ulama yang mengeluarkannya”. (Al-Mudawi li ‘Ilalil Jami’ Shoghir waSyarhi Munawi 1/235).

[2] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 57

[3] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 47 oleh as-Sakhowi.

[4] Lihat At-Tahdzir Min Ahadits Akhto’a fi Tashihiha Ba’dhul Ulama hlm. 99-103 oleh Ahmad bin Abdur Rahman al-’Uwain.

[5] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64)

[6] Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Perselisihan bukanlah rohmat, persatuan itulah yang rohmat, adapun perselisihan maka ia adalah kejelekan dan kemurkaan sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud”. (Syarh Mandhumah Al-Ha’iyah hlm. 193).

[7] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 1/142-143 -secara ringkas-.

[8] Lihat risalah yang bagus Manhaj Taisir Al-Mu’ashir oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.

[9] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.

[10] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh as-Sam’ani.

[11] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.

[12] Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.

[13] Lihat al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

[14] Ar-Risalah hlm. 259.

[15] Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali asy-Syamroni.

[16] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.

[17] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 10/16, lalu berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’I dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.

[18] Syarh Al-ushul As-Sittah hal.155-156.
Read More...

AHLI WARIS HASAN AL BANNA

Umar At-Tilmisani
Dia adalah pimpinan umum ketiga dari gerakan Ikhwanul Muslimin, setelah Hasan Al-Banna. Ia telah membuka lebar-lebar pintu menuju kepada kesyirikan dengan mengatakan:

“Sebagian mereka mengatakan, bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampun untuk orang-orang, bila mereka mendatangi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika masih hidup saja. Sementara bagi saya, tidak jelas mengapa dikaitkannya ayat1 dengan permintaan ampun tersebut saat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam hidup saja. Sementara (menurut saya) dalam ayat tersebut tidak ada pembatasan semacam itu… Oleh karenanya saya mendapati diri saya cenderung untuk mengambil pendapat yang mengatakan bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampun untuk siapa saja yang datang kepada beliau, menuju ke hadapannya baik semasa hidup beliau atau setelah kematiannya. Sehingga, tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, berlindung kepada mereka di kubur mereka yang suci, dan berdoa kepadanya saat kesempitan. Dan karamah para wali adalah termasuk dalil-dalil atas mukjizat para Nabi.” (Buku Syahidul Mihrab, karya Umar At-Tilmisani, hal. 225-226)

Anda lihat bagaimana ia membuka peluang untuk mereka yang ingin berdoa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (bukan mendoakan Nabi). Lebih parah dari itu, bahkan yang berdoa kepada para wali atau bertawassul dengan kubur mereka. Sementara pembaca tentu tahu bahwa berdoa adalah ibadah besar yang tidak pantas diperuntukkan kecuali hanya untuk Allah. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
وَلاَ تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللهِ مَا لاَ يَنْفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِيْنَ

“Dan janganlah kamu menyembah selain Allah, yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (Yunus: 106)

Tapi justru At-Tilmisani mengatakan: “Tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang berlindung kepada para wali di kuburan mereka.”

Musthafa As-Siba’i
Dia adalah Pimpinan Umum Ikhwanul Muslimin di Syria. Ia menulis sebuah qashidah (bait-bait syair) di Raudhah, dekat mimbar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Masjid Nabawi setelah Ashar pada tanggal 10 Muharram 1284 H, lalu membacanya di depan kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum dan setelah haji:

Wahai pemandu orang yang berjalan menuju Ka’bah dan tanah Al-Haram
Dan menuju Thayyibah (Madinah) tuk mencari pimpinan seluruh umat
Jika upayamu untuk menuju Al-Mukhtar (Nabi) hanya sunnah
Maka upaya orang semacamku adalah wajib, menurut orang yang memiliki keinginan tinggi
Wahai tuanku, wahai kekasih Allah, aku datang
Ke hadapan pintumu tuk mengadukan rasa sakit dari penyakitku
Wahai tuanku, terus menerus penyakit itu berada di tubuhku
Karena begitu sakit aku tak pernah lalai dan tak pernah tidur

(diambil dari majalah Hadharatul Islam, edisi khusus bertepatan dengan kematian Musthafa As-Siba’i hal. 562-563)

Pembaca, anda lihat bagaimana ia mengadukan sakitnya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat. Inikah tauhid? Bahkan inilah syirik akbar yang ditentang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mengapa tidak ia adukan kepada Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan minta kesembuhan dari-Nya? Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)
Dalam bait-bait syair ini juga banyak terdapat penyelewengan. (lihat Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal hal. 172)

Hasan At-Turabi
Dia adalah pimpinan Ikhwanul Muslimin di Sudan. Yang bersangkutan juga meremehkan masalah syirik. Dia menga-takan kepada jamaah Ansharus Sunnah di Sudan: “Sesungguhnya mereka memperhatikan masalah aqidah dan syirik terhadap kuburan, tapi mereka tidak memperhatikan syirik dalam hal polilik. Hendaknya kita biarkan para pemuja kuburan itu thawaf di sekitar kuburan mereka sampai kita mencapai kubah parlemen.” (Majalah Al-Istiqamah, Rabi’ul Awwal 1408 H, hal. 26)

Pembaca, sepanjang hayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau memerangi para pemuja kuburan baik dengan lisan dan tangan beliau yang mulia, lalu At-Turabi mengatakan demikian? Apakah kamu pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, wahai Turabi?

Thawaf itu hanya di Ka’bah wahai Turabi. Demikianlah menurut kitab Rabbi, firman-Nya:
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj: 29)

Hasan At-Turabi juga merendahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan tentang Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Dia ini adalah sosok yang tinggi, tapi jangan kalian katakan bahwa beliau itu ma’shum, tidak melakukan kesalahan.” (dinukil dari Ar-Raddul Qawim, hal. 8)

Wahai Turabi, umat telah sepakat tentang kema’shuman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai-mana kata Adz-Dzahabi: “Sesungguhnya mereka (jumhur/ mayoritas ulama) berse-pakat bahwa para nabi ma’shum dalam menyampaikan risalah, dan taat kepada mereka adalah wajib –kecuali menurut Khawarij–. Dan jumhur juga berpandangan bahwa bisa jadi mereka jatuh dalam dosa kecil, namun mereka tidak dibiarkan oleh Allah 'Azza wa Jalla pada dosa tersebut.” (Al-Muntaqa min Mizanil I’tidal, hal. 165)

Barangkali karena keyakinannya di atas, ia mengatakan dalam ceramahnya di hadapan para mahasiswi di Diyum timur (12/8/1982) tentang hadits lalat yang masuk ke air2: “Ini urusan kedokteran. Dalam hal ini, yang diambil adalah ucapan dokter kafir, dan ucapan Rasul tidak diambil karena ini bukan bidangnya.” (Ar-Raddul Qawim, hal. 83)

At-Turabi juga merendahkan para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan: “Semua shahabat itu adil? Kenapa?” (Ar-Raddul Qawim, hal. 84)

Padahal Ahlus Sunnah meyakini keadilan yakni keshalihan mereka dengan persaksian Allah 'Azza wa Jalla. Betapa banyak Allah 'Azza wa Jalla mengatakan dalam ayat Al-Qur‘an:
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap Allah.”

Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) mengatakan:
“…Keadilan/ keshalihan para shahabat telah pasti dan telah diketahui, yaitu dengan persaksian Allah 'Azza wa Jalla terhadap keadilan/ keshalihan mereka, berita-Nya tentang kesucian mereka, serta pilihan Allah terhadap mereka, dalam nash Al-Qur`an.” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 46)

At-Turabi menjunjung tinggi bendera persatuan antar agama. Ia mengatakan: “Sesungguhnya persatuan kebangsaan merupakan salah satu cita-cita kita dan kami dalam partai Islam. Dengan partai tersebut akan menuju kepada Islam atas dasar prinsip-prinsip agama Ibrahim, yang mengumpulkan kami dengan orang-orang Kristen, karena adanya peninggalan sejarah keagamaan yang sama…” (Majalah Al-Mujtama’ Kuwait, edisi 763 tanggal 8/10/1985 M)

Padahal Allah 'Azza wa Jalla mengatakan:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Abdullah Azzam
Dia menganggap remeh masalah syirik yaitu peribadatan kepada berhala atau benda-benda yang dikeramatkan. Penulis buku Al-Jama’atul Umm mengisahkan:

“Sebagai contoh atas masalah ini, apa yang dinukilkan oleh Dr. Basyir atau Barman dari Asy-Syaikh Abdullah Azzam –rahimahullah– ketika dia berdiri di kemah Hai`ah Kibar Ulama (Badan Ulama Besar Saudi Arabia) di musim haji dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya masalah memerangi syirik yang diserukan oleh ulama terdahulu semisal Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam hal peribadatan kepada patung-patung dan mengusap-usap kuburan telah selesai. Yang menggantikannya adalah syirik dalam bentuk lain, yaitu syirik dalam hal berhukum dengan syariat manusia dan meninggalkan syariat Allah.” (dinukil dari buku Asy-Syaikh Abdullah Azzam, Al-’Alim wal Mujahid, hal. 34)
Bagaimana dikatakan telah selesai? Tidakkah engkau melihat syirik semacam itu merekah di negeri pujaanmu, Afghanistan dan sekitarnya? Tolong, jangan menutup mata.

Sayyid Quthub
Demikian pula dengan Sayyid Quthub, dia katakan: “Sesungguhnya peribadatan kepada berhala, yang Nabi Ibrahim berdoa kepada Rabb-Nya untuk menjauhkan dirinya dan anak-anaknya dari perbuatan tersebut, tidak hanya terwujud dalam gambaran sederhana yang dulu dilakukan oleh orang-orang Arab saat Jahiliyyah mereka, atau yang dilakukan oleh banyak orang-orang animisme pada benda-benda yang berwujud batu atau pohon… Sesungguhnya gambaran sederhana ini semuanya tidak mencakup, menghabiskan bentuk syirik kepada Allah…” (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114)

Memang syirik bukan hanya dalam bentuk ibadah kepada berhala, tapi mengapa engkau sebut itu ‘sederhana’ (sadzaj), padahal itu termasuk bentuk syirik terbesar di umat ini, baik dulu maupun sekarang? Yang menguatkan bahwa ia meremehkan syirik dalam hal ini adalah bahwa dia banyak membesar-besarkan syirik dalam hal hukum dan salah dalam menafsirkan Laa ilaha illallah.

Sayyid Quthub juga mencela Nabi Musa ‘alaihissalam di mana ia mengatakan: “…Anggaplah Musa, sesungguhnya dia merupakan contoh seorang tokoh yang emosional dan temperamen.” (dari bukunya yang berjudul At-Tashwirul Fanni, hal. 162-163)

Kaum muslimin tentu tahu kedudukan para nabi yang begitu tinggi. Kehormatannya tak boleh disentuh, bahkan harus dihargai. Terlebih, secara khusus Allah 'Azza wa Jalla mengatakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ آذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللهِ وَجِيْهًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (Al-Ahzab: 69)

Hal yang senada dengan ucapan Sayyid Quthub diucapkan pula oleh Abul A’la Al-Maududi. Dia adalah orang yang sejalan dengan Ikhwanul Muslimin dalam dakwahnya. Dia mengatakan: “Telah lewat 1300 tahun, dan Dajjal belum juga keluar. Ini menunjukkan bahwa perkiraan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak benar.” (Dinukil dari buku Ar-Rasa`il wal Masa`il, hal. 57)
Semoga Allah melindungi kita dari ucapan-ucapan semacam itu.

Sayyid Quthub juga menikam para shahabat. Ia mengatakan: “Sesungguhnya Mu’awiyah dan ‘Amr temannya, keduanya tidaklah mengalahkan ‘Ali karena keduanya lebih mengerti sesuatu yang dirahasiakan jiwa daripada ‘Ali atau karena lebih paham atas tindakan yang bermanfaat pada keadaan yang tepat. Akan tetapi karena keduanya bebas menggunakan segala senjata, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam hal memilih perangkat pertempuran. Dan ketika Mu’awiyah dan temannya cenderung kepada kedustaan, kecurangan, penipuan, kemunafikan, suapan, dan menjual janji (khianat), ‘Ali tidak bisa hanyut kepada tingkatan yang sangat rendah ini. Maka tidak heran jika keduanya berhasil sementara ‘Ali gagal, dan sungguh itu adalah kegagalan yang lebih mulia dari segala keberhasilan.” (dari bukunya Kutub wa Syakhshiyyat, hal. 242)

Pembaca, sangat tidak pantas ia ucapkan demikian kepada kedua shahabat tersebut. Dan sangat tidak pantas ia ikut campur dalam urusan mereka.

Ketahuilah bahwa aqidah Ahlus Sunnah tentang para shahabat adalah seperti kata Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Al-Wasithiyyah:

“Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bersihnya qalbu dan lisan mereka terhadap para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam sifatkan dalam firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)

Senada dengan ucapan Sayyid adalah ucapan:
Muhammad Al-Ghazali (Mesir): “Sesungguhnya Abu Dzar adalah seorang sosialis, dan ia mengambil paham sosialisme ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (dari buku Al-Islam Al-Muftara ‘alaihi, hal. 103)

Sayyid Quthub juga beranggapan bahwa masyarakat muslimin telah murtad, ia katakan: “…Sesungguhnya manusia telah kembali kepada jahiliyyah dan murtad dari la ilaha illallah. Sehingga mereka memberikan kekhususan ketuhanan kepada manusia, dan (mereka) belum kembali mentauhidkan Allah 'Azza wa Jalla dan memurnikan loyalitas kepada-Nya… Manusia secara keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah mereka yang mengulang-ulang di atas tempat adzan di belahan bumi timur maupun barat kalimat laa ilaha illallah tanpa ada makna dan realita… Mereka itu lebih berat dosa dan adzabnya di hari kiamat, karena mereka murtad menuju peribadatan kepada para hamba setelah jelas baginya petunjuk, dan setelah sebelumnya mereka dalam agama Allah 'Azza wa Jalla. (Fi Zhilalil Qur`an, 2/1057 dinukil dari Adhwa` Islamiyyah, hal. 92)

Demikian ia memvonis murtad masyarakat muslim di belahan timur bumi maupun barat, hanya karena anggapannya bahwa mereka tidak berhukum dengan hukum Allah 'Azza wa Jalla. Sungguh batil apa yang ia ucapkan. Ucapannya itu timbul karena dia melenceng dari aqidah Ahlus Sunnah dalam masalah ini.

Sa’id Hawwa
Sa’id Hawwa adalah salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin. Ia begitu memuji aliran sufi, tarekat Rifa’iyyah dan begitu terheran-heran dengan akrobat syaithaniyyah yang ada pada mereka. Ia mengatakan: “Suatu ketika, seorang Nashrani memberitakan kepadaku tentang sebuah kejadian yang dialaminya sendiri. Dan itu sebuah kejadian yang masyhur dan telah pertemukan aku dengannya setelah beritasangat diketahui. Allah 'Azza wa Jalla tentang kejadian itu sampai kepadaku melalui jalan lain. Ia memberitahuku bahwa ia menghadiri sebuah majelis dzikir. Salah satu peserta dzikir itu menusukkan pedang kepada yang lain di punggungnya sampai pedang tersebut tembus, dan sampai ia (yang ditusuk) memegangnya lalu pedang itu ditarik lagi. Tapi tidak berbekas sama sekali dan tidak mencelakakannya. Sungguh hal ini yang terjadi pada para pengikut tarekat (Rifa’iyyah). Dan terus melekatnya hal itu pada mereka merupakan keutamaan Allah 'Azza wa Jalla yang terbesar atas umat ini…” (dari bukunya Tarbiyatuna Ar-Ruhiyyah, hal. 218)

Dia katakan juga: “Dan saya tulis buku saya Tarbiyatuna Ar-Ruhiyyah dengan tujuan menjelaskan salah satu dari dua macam tema fiqih yang besar dan yang terbesar, yaitu tema tasawwuf yang tertata. Supaya saya bisa meletakkan perkara-perkara pada tempatnya dalam masalah hakekat sufi, yang hal itu merupakan salah satu ciri pokok dakwah Al-Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah.” (dari buku Jaulaat, Al-Jaulatul Ula, hal. 17)
Duhai… tema sufi dan kisah-kisah sufi semacam kisah di atas yang amat bertentangan dengan aqidah yang shahih dianggap ‘fiqih yang besar dan yang terbesar’!!

Ia pun sangat memuji para ahli bid’ah, ia mengatakan: “Sesungguhnya kaum muslimin di sela-sela zaman memiliki para imam dalam hal aqidah, fiqih, tasawwuf dan jalan kepada Allah. Maka imam mereka dalam hal aqidah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.” (dari buku Jaulaat fil Fiqhaini Al-Kabir Wal Akbar hal. 22)
Tahukan pembaca siapa kedua tokoh yang dia anggap sebagai imam dalam hal aqidah? Keduanya adalah pencetus aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang bertolak belakang dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tapi Abu Hasan akhirnya bertaubat dan kembali kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Ucapan senada dengan ucapan Sa’id Hawwa diungkapkan Abdul Fattah Abu Ghuddah yang mengatakan tentang Zahid Al-Kautsari: “Ini sebagai hadiah kepada arwah ustadz para ahli tahqiq (peneliti), Al-Hujjah, Al-Muhaddits (Ahli Hadits), Ahli ushul fiqh, peneliti, ahli sejarah, Al-Imam Zahid Al-Kautsari.” (Ar-Raf’u wat Takmil, hal. 68)
Tahukah pembaca siapakah Zahid Al-Kautsari itu? Dia adalah pembawa bendera aliran Jahmiyyah di masa belakangan ini, dan sangat membenci Ahlus Sunnah wal Jamaah

Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Dia adalah salah satu hasil didikan Hasan Al-Banna dan sangat terkesan dengan sosok Al-Banna. Sehingga tak heran bila ia mengajak untuk mengubur permusuhan dengan Yahudi dan Nashrani. Ia mengatakan: “Di antara manusia ada yang bersandar kepada sebagian nash dari ayat Al-Qur`an dan hadits Nabi, ia memahaminya dengan pemahaman yang dangkal, terburu-buru berdalil dengannya untuk berfanatik terhadap Islam dalam menghadapi musuhnya dari kalangan Yahudi dan Nashrani dan selain mereka. Contoh-contoh nyata dari nash dan ayat yang melarang untuk berloyal kepada selain mukminin di antaranya… (lalu ia sebut sebagiannya, di antaranya:)
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوَادُّوْنَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوْبِهِمُ الإِيْمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadalah: 22)

Ternyata itu bukan hanya ucapan, bahkan ia buktikan dengan kehadirannya dalam muktamar pendekatan antar agama. Ungkapnya: “Pada tahun ini, bulan Mei yang lalu saya menghadiri sebuah muktamar di Moskow. Muktamar itu membahas tentang Islam dan bagaimana saling memahami antar agama dan masyarakat-masyarakat lain. Yang mengikutinya adalah orang-orang Nashrani dan Yahudi serta agama-agama selain mereka. Dan di akhir musim panas, saya menghadiri pesta penghormatan untuk pertemuan orang-orang Kristen dengan sebagian muslimin, yang diprakarsai oleh Majelis Gereja untuk Timur Tengah.” (Koran Asy-Syarqul Ausath, edisi 2789, Jumada Ats-Tsaniyah 1416, bertepatan dengan 1995 M)

Buah dari pernyataan dan perbuatannya itu, ia menyatakan siap untuk mengadakan pendekatan antar agama. Yang disayangkan, ia memposisikan dirinya sebagai juru bicara muslimin. Ia pun mencari titik temu antar agama dan mengatakan tidak ada jihad dalam Islam kecuali jihad untuk membela diri. Bahkan menyatakan peperangan dengan Yahudi bukan karena agama tapi karena tanah, katanya: “Kami tidak memerangi Yahudi karena aqidah. Kami hanyalah memerangi mereka karena tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena mereka kafir, tapi karena mereka merampas tanah dan rumah kami serta mengambilnya tanpa hak.” (Ar-Rayah, edisi 4696) [kutipan-kutipan ucapannya ada dalam dalam buku Raf’ul Litsam dan lainnya]

Demikianlah kesesatan demi kesesatan saling melengkapi, na’udzubillah min dzalik.
Iapun berpandangan bahwa antara demokrasi dan syura adalah serupa (Koran Asy-Syarq, edisi 2719), padahal keduanya seperti timur dan barat, tidak akan pernah ketemu.

Mengadakan Pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah
Asy-Syatti dari Kuwait mengatakan:“Syi’ah Imamiyyah termasuk umat Muhammad. Sedangkan Syah (Penguasa Iran waktu itu, red.) mengangkat bendera Majusi, sehingga tidak termasuk kebenaran bila kita mendukung bendera Majusi dan meninggalkan bendera umat Muhammad.” (Majalah Al-Mujtama’, edisi 455)

Al-Ghanusyi menukilkan ucapan Al-Banna: “Sesungguhnya kami ingin berhukum dengan Islam sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada perbedaan antara Sunnah dengan Syi’ah, karena madzhab-madzhab itu belum ada di jaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Al-Harakah Islamiyyah wat Tahdits hal. 21)

Demikianlah keadaan aqidah para tokoh gerakan ini. Pantaskah mereka ditokohkan, sementara berbagai macam kesesatan ada pada mereka?!!


Sumber Bacaan:
Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi
Haqiqatud Da’wah Ilallah, karya Sa’d Al-Hushayyin
Nadharat fi Manhaj Al-Ikhwanil Muslimin, karya A. Salam
 dll


1 Ayat yang dimaksud adalah surat An-Nisa ayat 64:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا

“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
As-Sa’di menyebutkan dalam Tafsir-nya, hal. 185 bahwa ini berlaku ketika hidupnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2 Yaitu hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْه يَقُوْلُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَاْلأُخْرَى شِفَاءً

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seekor lalat masuk ke minuman salah seorang di antara kalian maka hendaknya ia mencelupkannya lalu membuangnya, karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayapnya yang lain ada obatnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq)
Read More...

APAKAH AL ASY’ARIYYAH TERMASUK AHLU SUNNAH ?

Oleh: Abu Ihsan Al Atsary Al Maidany

Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya madzhab Al Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya adalah madzhab Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan dalam madzhab Al Asy’ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar’i, tetapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan dengan prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.


SEJARAH SINGKAT ABUL HASAN AL ASY’ARI
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Masa kecil dan mudanya dihabiskan di kota Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum Mu’tazilah. Dan tidak dapat dielakkan, pada masa pertumbuhannya, beliau terpengaruh dengan lingkungannya Beliau mendalami ilmu kalam dan pemikiran Mu’tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Juba’i. Namun kemudian, beliau bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini. Allah menghendaki keselamatan bagi beliau, dan memperoleh petunjuk kepada madzhab Salaf dalam penetapan sifat-sifat Allah, dengan tanpa ta’wil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil [1]

Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.

Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:

Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita, Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.

Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah, yaitu beliau mulai bangkit membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau menulis sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya, beliau menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]

ABUL HASAN AL ASY’ARI SECARA TOTAL MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF
Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.

Diantara beberapa buku yang ditulisnya, yaitu: Al Luma’, Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar, Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin Wa Kharijin ‘Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai’in Wad Dahriyin Wa Ahli Tasybih, Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Al Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.

PERNYATAAN ABUL HASAN AL ASY’ARI DALAM KITABNYA: AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [3]
Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah: “Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah k dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atsar-atsar (riwayat-riwayat) yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya, Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in, dan (memberantras) penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas) keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.” [4]

Demikian pernyataan Abul Hasan, bahwa ia kembali ke pangkuan manhaj Salaf.

ULAMA-ULAMA SYAFI’IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY’ARIYYAH
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.

Abul Hasan sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi’iyyah menolak dinisbatkan kepada madzhab Asy’ariyyah.

Berikut ini, mari kita simak penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama’ah-jama’ah Islam Ditimbang Menurut Al Qur’an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan istilah Al Asy’ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy’ariyyah bukan termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau berkata:

Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy’ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah. Berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (pengikut Salafush Shalih), mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah

1. Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan, barangsiapa menyelami ilmu kalam, (maka ia) tidak termasuk Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-nash syar’iyyah [5]. Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab Asy’ariyah adalah akal. Tokoh-tokoh Asya’riyah telah menegaskan hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli (wahyu), apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql Wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana terjadi pertentangan antara dalil-dalil.[6]

2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: “Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa’ (Ahli Bid’ah).” Ia menjelaskan: “Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat.” [7]

3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi’i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah [8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa tamtsil.” [9]

4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata: “Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Mereka justeru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy’ari. Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh [10] terhadap Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi’i dari prinsip-prinsip Al Asy’ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni Al Luma’ dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy Syafi’i), beliau membedakannya. Beliau berkata: “Ini adalah pendapat sebagian rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy’ariyah.” Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi’i. Mereka menolak disamakan dengan Al Asy’ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka menolak dinisbatkan kepada madzhab Al Asy’ariyah; terlebih lagi dalam masalah ushuluddin.” [11]

Pendapat yang benar adalah, Al Asy’ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan kenapa mereka keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.

Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya: Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau menjawab dengan tegas: “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.”

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2]. Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3]. Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4]. Al Ibanah, halaman 17.
[5]. Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6]. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7]. Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8]. Ini semua adalah nama-nama aliran
[9]. Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10]. Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11]. At Tis’iniyyah, hlm. 238-239.
Read More...

Minggu, 13 November 2011

PERKATAAN IMAM SYAFI'I TENTANG TASAWWUF

Imam Syafii telah mencela sufiyah (shufiyyah) karena kesesatan mereka. Beliau telah menyebutkan ciri-ciri mereka untuk memperingatkan agar tidak tertipu dengan mereka dan masuk ke dalam bid’ah sufiyah.
Hal ini nampak sangat jelas dalam teks-teks ucapan beliau tentang firqoh (golongan, sekte) ini.
Di antara ucapan beliau:

1. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Yunus bin Abdil A’la, dia berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafii berkata: “Kalau seorang menganut ajaran tasawuf (tashawwuf) pada awal siang hari, tidak datang waktu zhuhur kepadanya melainkan engkau mendapatkan dia menjadi dungu.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)

Dungu adalah sedikitnya akal. Dan itu adalah penyakit yang berbahaya.
Tidaklah aneh ahli tasawwuf dalam waktu kurang dari sehari akan menjadi orang yang dungu. Tulisan-tulisan mereka sendiri menjadi saksi tentang hal itu.

An-Nabhani -seorang sufi- dalam kitabnya yang penuh dengan khurofat, kezindiqan, dan kesesatan; yang berjudul Jami’ Karomat Auliya tentang biografi Ahmad bin Idris, dia berkata:

[Di antara karomahnya yang agung yang tidak bakal dicapai kecuali oleh orang-orang tertentu adalah berkumpulnya dia dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan bangun (terjaga), kemudian dia mengambil wirid-wiridnya, hizb-hizbnya dan sholawatnya yang masyhur dari beliau secara langsung ......
Dia (Ahmad bin Idris) diuji dengan hilangnya indera dengan benda-benda yang ada. Kemudian dia mengeluhkan kepada sebagian guru-gurunya. Kemudian sang guru berkata: ‘Kaana (Jadilah dia).’ Ahmad bin Idris menceritakan dirinya: Maka dengan semata ucapan sang guru “kaana”, hilang dariku semua rasa sakit, kemudian aku bangkit waktu itu juga dan jadilah aku seperti orang yang tidak ditimpa sesuatupun. Aku memuji Allah. Dan aku mengetahui bahwa telah pasti apa yang dikatakan para tokoh sufi: Awal jalan adalah junun (kegilaan), pertengahannya funun, dan akhirnya ‘kun fa yakun’.”]

Perkataan ini tidak pernah diucapkan oleh seorang yang berakal sama sekali. Karena tidak ada yang berhak dengan sifat seperti ini -yaitu mengucapkan kepada sesuatu ‘kun fa yakun’ selain Allah. Allah berfirman tentang Diri-Nya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia (Kun fa Yakun). (Yasin: 82)
Mereka –ahil tasawwuf- telah mengakui bahwa diri mereka adalah gila.
Sehingga tidak keliru ketika Imam Asy-Syafii mengatakan: “Tidaklah aku melihat seorang sufi yang berakal sama sekali.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)

2. Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Tidaklah ada seorang yang berteman dengan orang-orang sufi selama 40 (empat puluh) hari, kemudian akalnya akan kembali selama-lamanya.”

Dan beliau membacakan syair:
ودع الذين اذا أتوك تنسكوا ... واذا خلوا فهم ذئاب خفاف
Tinggalkan orang-orang yang bila datang kepadamu menampakkan ibadah
Namun jika bersendirian, mereka serigala buas (Talbis Iblis hal. 371)

3. Imam Asy-Syafii juga berkata: “Dasar landasan tasawwuf adalah kemalasan.” (Al-Hilyah 9/136-137)

Kenyataan sufiyah menjadi saksi apa yang dikatakan Imam Asy-Syafii bahwa dasar landasan mereka adalah malas. Mereka adalah orang yang paling rajin dalam menunaikan bid’ah dan penyelisihan syariat. Dan mereka juga orang yang paling sangat malas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menghidupkan sunnah-sunnah nabi (tuntunan-tuntunan nabi) shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai tambahan... suatu waktu Imam Waki’ (salah satu guru Imam Asy-Syafii) berkata kepada Sufyan bin ‘Ashim: “Kenapa engkau meninggalkan hadits Hisyam?” Sufyan bin Ashim menjawab: “Aku berteman dengan satu kaum dari sufiyyah, dan aku merasa kagum dengan mereka, kemudian mereka berkata: ‘Jika kamu tidak menghapus hadits Hisyam, kami akan berpisah denganmu’.” Maka Imam Waki’ berkata: “Sesungguhnya ada kedunguan pada mereka.” (Talbis Iblis hal 371-372)

Insya Allah menyusul perkataan imam ahlussunnah wal jamaah -imam salaf- yang lainnya tentang sufiyyah.

Read More...

Kamis, 14 Juli 2011

TENTANG SYAIKH MUHAMMAD HASAN AL MISHRY HAFIZHAHULLAH

Asy-Syaikh al-Muhaddits ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân

Berikut ini adalah transkrip percakapan seorang penuntut ilmu dengan Asy-Syaikh al-Muhaddits ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu via telepon. Dalam percakapan ini, Syaikh mendukung pendapat Syaikh ‘Ali al-Halabî dan masyaikh Syam akan kesalafiyahan Syaikh Muhammad Hassân.

Syaikh : Na’am (iya)*

[Catatan : Ini adalah adab seorang ulama yang patut ditiru, yaitu beliau berupaya menghindarkan diri dari tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir dengan sering mengawali percakapan di telepon dengan kata “hallo”, dan lebih memilih untuk mengucapkan “iya”, pent.]

Penanya : Assalâmu ‘alaikum warohmatullâhi wabarokâtuh

Syaikh : Wa’alaikum as-Salâm warohmatullâhu wabarokâtuh

Penanya : Hayyakumullâhu ya Syaikh

 Syaikh : Allahu yuhyîka

Penanya : Apakah diizinkan Saya merekam pertanyaan ini?*

[Catatan : Ini adalah adab penuntut ilmu, meminta izin terlebih dahulu apabila akan merekam sebuah pembicaraan, pent.]

Syaikh : Pertanyaannya apa dulu sebelum Anda merekamnya?*

[Catatan : Ini menunjukkan pemahaman yang dalam dari diri Syaikh untuk melihat jenis dan bentuk pertanyaannya sebelum beliau mengizinkannya untuk direkam.]

Penanya : Pertanyaannya wahai Syaikh, sesungguhnya sebagian saudara kita –wahai Syaikh-, mereka terpengaruh dengan Syaikh Muhammad Hassân. Saya ingin menasehati mereka, karena itu Saya ingin minta nasehat Anda untuk mereka wahai Syaikh.

Syaikh : Ada apa emangnya dengan Syaikh Muhammad Hassân? Kenapa dengan Syaikh Muhammad Hassân?

Penanya : Demi Alloh, para ulama membicarakan tentang Syaikh Muhammad Hassân.*

[Catatan : Di sini sang penanya tampak agak kaget sebab Syaikh memberikan jawaban yang berbeda dengan yang diinginkannya, Pent.]

Syaikh : Siapa ulama yang membicarakannya? Apakah Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd?!

[Catatan : Di sini Syaikh hendak menunjukkan bahwa Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad seharusnya yang menjadi rujukan di dalam masalah jarh wa ta’dîl karena beliau adalah ulama yang paling obyektif, pent.]

Penanya : Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî telah membicarakannya, dan beliau mengatakan bahwa dia (Syaikh Muhammad Hassân) adalah Quthbî wahai Syaikh.

Syaikh : ‘Ubaid al-Jâbirî ini mengambil posisi ulama tentang hal ini ataukah perkara ini merupakan haknya dan selainnya?

Penanya : Sebagian ikhwah bertanya kepada beliau dan beliau menjawab bahwa dia adalah Quthbî wahai Syaikh.

Syaikh : ‘Ala kulli hâl (biar bagaimanapun) ini merupakan ijtihâd dari Syaikh (al-Jâbirî), yang bisa benar dan bisa keliru. Sesungguhnya, saudara kami al-Akh Muhammad Hassân adalah termasuk seorang yang berilmu (ulama) dan pemilik keutamaan. Kami tidak mendakwakan bahwa beliau itu ma’shûm dan tidak pernah bersalah. Namun beliau adalah termasuk ahlus sunnah dan orang yang membela aqidah dan sunnah serta beliau termasuk jajaran da’i yang terdepan yang menampakkan pembelaan terhadap aqidah dan sunnah di dunia. Beliau banyak memberikan manfaat di Mesir, Syam dan selainnya.

Penanya : Maksudnya wahai Syaikh, Muhammad Hassân itu termasuk ahlus sunnah?

Syaikh : Iya, iya, termasuk ahlus sunnah.

Penanya : Bukannya dia memiliki kesalahan-kesalahan wahai Syaikh?

Syaikh : Tidak ada orang yang tidak memiliki kesalahan wahai saudaraku. Akan tetapi kesalahan-kesalahan beliau ini tidak mengeluarkannya dari ahlus sunnah.

Penanya : Mereka juga mengatakan bahwa dia juga seorang ikhwânî wahai Syaikh.
Syaikh : Tidak, tidak, beliau bukan seorang ikhwânî, bukan… beliau adalah seorang salafî, dan seorang salafî itu senantiasa tidak akan menyebutkan guru-gurunya kecuali Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimîn –yang beliau sendiri belajar padanya-, menyebutkan Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz dan menyebukan al-Albânî. Tidak akan selamanya dia berargumen dengan salah seorang pun selain mereka.

Penanya : Jazzâkallâhu khoyron wahai Syaikh, bârokallôhu fîka yâ Syaikh, hayyakallohu yâ Syaikh…

 

Rekaman dialog ini bisa dilihat di sini.
Read More...