SEJARAH IKHWANUL MUSLIMIN
Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam - yang didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906-1949 M) di Mesir pada tahun 1941 M. Diantara tokoh-tokoh pergerakan itu ialah : Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i, dan lain sebagainya.
Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut Syi`ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud. Dan keyakinan bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis dan mengarang.Dia (Jamaludin Al-Afghani) kerap mengajak kepada pendekatan Sunni-Syiah [Tidak,..Demi Allah . Hal ini tidak akan terwujud.Semua ini hanyalah khayalan biasa laksana menanam di lautan.Bagaimana tidak , dapatkah api bersatu dengan air ??-cat kaki], bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama [lihat dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam. Oleh Farid bin Ahmad bin Manshur hal. 36)]
Gerakan itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain sebagainya. (lihat Al-Mausu`ah Al-Muyassarah hal. 19-25). Ia (Jamaludin Al-Afghani) telah dihukumi /dinyatakan oleh para ulama negeri Turki, dan sebagian masyayikh Mesir sebagai orang Mulhid, kafir, zindiq, dan keluar dari Islam.
Farid bin Ahmad bin Manshur menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani pada beberapa hal, diantaranya:
[1]. Menempatkan politik sebagai prioritas utama
[2]. Mengorganisasikan secara rahasia
[3]. Menyerukan peraturan hukum demokrasi
[4]. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme
[5]. Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani. [Lihat Ad-Dakwah hal 47}
Oleh sebab itu, jamaah Ikhwanul Muslimin banyak memiliki penyimpangan dari kaidah-kaidah Islam yang dipahami As-Salaf As-Shalih. Di antara penyimpangan tersebut misalnya:
TIDAK MEMPERHATIKAN MASALAH AQIDAH DENGAN BENAR
(Syaikh Abdul Aziz bin Bazz berkata sebagaimana dalam majalah Al-Majalah edisi 806 tanggal 25/2/1416 H halaman 24 :.."Harokah Ikhwanul Muslimin telah dikritik oleh para ahlul 'ilmi yang mu'tabar ? terkenal-.Salah satunya (karena) mereka tidak memperhatikan masalah da'wah kepada tauhid dan memberantas syirik serta bid'ah. Maka sewajibnya bagi Ikhwanul Muslimin untuk memperhatikan da'wah Salafiyah da'wah kepada tauhid, mengingkari ibadah kepada kubur-kubur dan meinta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati seperti Hasan, Husein, Badawi dan sebagainya.Wajib bagi mereka untuk mempunyai perhatian khusus dengan makna Laa Ilaaha Illallah Karena inilah pokok agama dan suatu yang pertama kali didakwahkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang mulia di kota Mekkah!!) Bukti nyata bahwa jama'ah Ikhwanul Muslimin tidak memeperhatikan perkara aqidah dengan benar, adalah banyaknya anggota-anggota yang jatuh dalam kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep aqidah yang jelas.
Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota-anggotanya seperti: Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i dan lain sebagainya.
Seorang tokoh Islam (Muhammad bin Saif Al-A`jami) menceritakan bahwa Umar Tilimsani yang menjabat Al-Mursyidu Al-`Am dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama, pernah menulis buku yang berjudul "Syahidu Al-Mihrab Umar bin Al-Khattab (Umar bin Al-Khattab yang wafat syahid dalam mihrab) "Buku ini penuh dengan ajakan kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan beristighatsah kepada kuburan dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla di samping kubur. Tilimsani juga menyatakan bahwa kita TIidak Boleh melarang dengan keras penziarah kubur yang melakukan amalan seperti itu.
Coba simak teks perkataannya pada hal 225-226: "Sebagian orang menyatakan bahwa Rasulullah memohonkan ampun untuk mereka (penziarah kubur) tatkala beliau masih hidup saja. Tetapi saya tidak mendapatkan alasan pembatasan itu pada masa hidup beliau saja. Dan di dalam Al-Quran, tidak ada yang menunjukkan adanya pembatasan tersebut".
Di sini, dia menganggap bahwa memohon kepada Rasulullah sesudah kematian beliau, beristighatsah dan beristghfar dengan perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada hal 226 dia juga menyatakan: "Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa beliau telah memohonkan ampunan dikala beliau masih hidup, maupun sesudah matinya - bagi siapa yang mendatangi kuburan yang mulia".
Pada halaman yang sama dia juga menyebutkan :"Oleh karena itu, kita tidak perlu berlaku keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, sambil berlindung kepada mereka di kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada mereka tatkala tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini bahwa karamah para wali tersebut termasuk kemu`jizatan para nabi."
Kemudian pada halaman 231 ia menyatakan: "Maka kita tidak perlu memerangi wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka".
Demikianlah, tidak ada satupun bentuk syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan sebagaimana yang dikatakan oleh ``Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin itu. Karena kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap bentuk-bentuk perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga Tilimsani menyatakan: "Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka anggap) wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka".
Tilimsani sendiri juga hidup di Mesir yang terdapat banyak kuburan-kuburan dimana dilakukan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat jahiliyah pertama.Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan tempat memohon segala sesuatu yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah .
Di antara yang mereka anggap wali, kebanyakannya adalah kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti: Sayyid Da`iyyah fathimi yang tak pernah melakukan shalat. Diantaranya juga ada Kaum Sufi yang "keblinger", seperti: Syadzili, Dasuki, Qonawi dan lain sebagainya, yang ada disetiap kota dan pedesaan. Orang-orang itulah yang jadi wali-wali mereka. Dan kuburan-kuburan mereka itulah yang dipublikasikan oleh ''Al-Mursyidu Al-`Am/pemimpin umum'' dari Ikhwanul Muslimin itu.
Dia kembali menyatakan pada halaman 231 sebagai berikut: ''Meskipun hati saya sudah demikian cinta, suka dan bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun saya amat gembira dan senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman abadi mereka dengan melakukan hal-hal merusak aqidah tauhid - menurut anggapannya - akan tetapi saya tidak berorientasi penuh untuk mempropagandakannya. Hal itu hanya sebatas soal intuisi/perasaan.
Dan saya katakan kepada mereka yang bersikap ekstrim dalam mengingkarinya: "Tenanglah, di dalam masalah ini tidak ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun ilhad/kekufuran.''
Maka apalagiI yang bisa diharapkan dari keyakinan yang merancukan aqidah dan tauhid, sehingga berdoa kepada orang yang sudah mati disamping kuburan-kuburan mereka kala ditimpa kesusahan dianggap hanya soal perasaan yang tidak mengandung syirik dan penyembahan berhala, seperti yang diungkapkan Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimun tersebut ?
Mushthafa As-Siba`i, Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria pernah menggubah qashidah yang dibacakannya di kuburan Nabi. Yang di antara bait-baitnya adalah: ''Wahai tuanku, wahai kekasih Allah. Aku datang diambang pintu kediamanmu mengadukan kesusahanku karena sakit. Wahai tuanku, telah berlarut rasa sakit dibadanku. Karena sangat sakitnya, akupun tak dapat mengantuk maupun tidur.....'' [Lihat Al-Waqafat hal. 21-22]
Dari kedua bait diatas, kita dapat memahami bahwa dia telah melakukan istighatsah kepada Rasulullah yang jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah-Nya صلی الله عليه وسلم .
Hasan Al-Banna juga mengambil aqidah dari thariqot sufiah quburiah yang bernama Al-Hashofiah. Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirot Ad-Dakwah Ad-Adalah'iah hal-27 :"Aku bersahabat dengan para anggota kelompok hasafiah di Damanhur. Dan aku selalu hadir setiap malam (bersama mereka) di mesjid At-Taubah."
Berkata Jabir Rozaq dalam kitabnya "Hasan Al-Banna bi Aqlami talamidzatihi wa ma'asirihi" hal-8 :"Dan di Damanhur mejadi kokohlah hubungan Hasan Al-bana dengan anggota-anggota al-Hashofiah,dan beliau selalu hadir setiap malam bersama mereka di masjid at-Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) thariqot mereka sehingga berpindah dari tingkatan mahabbah ke tingkatan at-taabi' al-mubaya" [Lihat Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin hal-63]
Bahkan Hasan Al-Banna sendiripun sebagai pendiri jamaah Ikhwanul Muslimin, nampak sebagai orang yang awam dalam perkara aqidah tauhid. Disebutkan dalam buku Al-Waqafat hal. 21-22, bahkan dia pernah berkata: ''Dan doa kepada Allah ababila disertai tawassul/mengambil perantaraan salah satu makhluknya adalah perselisihan furu` dalam cara berdoa, dan bukan termasuuk perkara aqidah.''
Dalam masalah asma` dan sifat Allah, dia termasuk pengikut madzhab Tafwidh, yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan meyerahkan begitu saja perkara asma` dan sifat Allah, tanpa meyakini apa-apa. Itu adalah madzhab sesat, bukan sebagaimana madzhab As-Salaf As-Shalih yang meyakini makna-makna asma` dan sifat Allah, namun menyerahkan hakikat/bagaimana asma` dan sifat tersebut kepada-Nya.
Hasan Al-Banna menyatakan dalam buku Al-Aqaid hal. 74: ''Sesungguhnya pembahasan dalam masalah ini (asma` dan sifat), meski dikaji secara panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu tafwidh (tersebut di atas)[Syaikhul Islam berkata dalam kitabnya "Daaru ta'arubil aqli wa naqli ,Juz 1 hal 201-205 :"Adapun tafwidh, maka sudah merupakan hal yang maklum, bahwa Allah memerintahkan kita semuanya untuk merenungi Al Qur'an, memahaminya, dan menghayatinya, maka bagaimanakah kita akan berpaling dari memahaminya dan mendalaminya,...hingga beliau berkata : "Dari sini jelaslah bahwa perkataan ahlu tafwidh yang mengaku mengikuti Sunnah dan Salaf termasuk sejelek-jelek perkataan ahlu bid'ah dan ilhad (lih pula qowaidhul mutsla hal 44 oleh Syaikh Sholeh Utsaimin)].
Tokoh besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa`id Hawwa. Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak -red) yang beraqidah Asy-`Ariyyah-Maturidiyyah (termasuk golongan pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau berangapan bahwa itulah aqidah yang sah dalam Islam. (lihat jaulah fil fiqhain - Sa`id Hawwa).
Sayyid Quthub pun memiliki aqidah wihdatul wujud. Dia berkata dalam kitabnya Dzilalu Al-Qur'an jilid 6 hal-4002 : "Hakekat yang ada adalah wujud yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang hakekat kecuali hakekat Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu".
[Tentang Sayyid Qutb ,maka sungguh Syaikh Robi' Ibnu Hadi Al-Madkhali telah mewakili segenap para 'ulama dan para penuntut ilmu dalam mengungkap kesesatan dan penyimpangannya (Sayyid Qutb), yaitu dalam 4 buah kitabnya :
[1]. Adzwa' Islamiyyah 'alaa Aqidati Sayyid Quthub,
[2]. Mathoin Sayyid Quthub fii Ash-Shahabah
[3]. Al-awaashim minma fii kutubi sayyid Quthub min Al-Qawasim
[4]. Al-Haddul faashil bainal haqqi wal bathil.
Ringkasnya "celaannya" (Sayyid Qutb) kepada Musa عليه السلام, celaannya kepada para shahabat رضي الله عنهم, khususnya Ustaman bin Affan رضي الله عنه , perkataannya bahqwa Al-Qur'an adalah Mahluk, dan WIihadtul Wujud, Menta'thil (mengingkari) sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah, tidak menerima hadits-hadits ahad yang shahih dalam aqidah,..dsb- lebih jelasnya bacalah kitab-kitab diatas dan sudah tercetak]
Selain itu dia juga tidak bisa membedakan antara tauhid rububiah dan tauhid uluhiah. Dan dia menyangka bahwa yang menjadi perselisihan antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam masalah tauhid rububiah bukan uluhiah.
Dia berkata dalam Dziilalu Al-Qur'an 4/1847 : " Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan Islam, dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada masalah uluhiah Allah ...." dan juga perkataannya dalam hal-1852: "Hanya saja perselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob manusia yang menghukumi manusia dengan syari'at-Nya dan mengatur mereka dengan perintah-Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat kepada-Nya" [Lihat Adwa'un Islahiah karya Syaikh Robi' pada hal-65]
MENGHIDUPKAN BID'AH
Jamaah Ikhwanul Muslimin juga banyak sekali menghidupkan bidah. Sa`id Hawwa menyatakan dalam bukunya At-Tarbiyyah Ar-Ruhiyyah (pembinaan mental): ''Ustadz Al-Banna beranggapan bahwa menghidupkan hari-hari besar Islam (selain dua hari `ied), adalah termasuk tugas harakah-harakah (gerakan) Islam. Beliau juga menganggap bahwa suatu hal yang aksiomatik alias pasti, kalau dikatakan bahwa pada zaman modern ini memperingati hari besar semacam maulid nabi dan yang sejenisnya, dapat diterima secara fiqih dan harus mendapat prioritas tersendiri.
Dikisahkan juga oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya Ahdats Shana`atha At-Tarikh (1/109) bahwa ia sering bersama-sama Hasan Al-Banna menghadiri maulid nabi. Ia (Hasan Al-Banna) sendiri terkadang maju kepentas untuk menyanyikan nasyid (nyanyian) maulid nabi dengan suara keras dan nyaring. Setelah menukil banyak kisah Al-Banna tersebut, Syaikh Farid berkomentar:
''Semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bidah. Alangkah bodohnya mereka, alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan bahkan oleh anak kecil sekalipun.''
Dalam lembaran-lembaran majalah Ad-Dakwah, yang dipimpin oleh Umar At-Tilimsani tatkala dia masih menjabat salah satu Mursyid partai Ikhwanul Muslimin (nomor 21 hal 16/Rabi`ul Awwal 1398 H), tercetus banyak ungkapan yang penuh dengan kebidahan dan ghuluw (pengkhutusan/berlebih-lebihan) terhadap Nabi.
Di antaranya dalam makalah di bawah judul : Fi dzikra maulidika ya dhiya` Al-Alamin (dalam memperingati hari kelahiranmu, wahai sinar alam semesta)
TA'ASHUB / FANATIK TERHADAP PENDAPAT ULAMANYA
Syaikh Muqbil menyatakan dalam Al-Makhraj Minal Fitan hal. 86: ''(banyak) dari kalangan pengikut Ikhwanul Muslimin yang mengetahui bahwa mereka bodoh dalam masalah dien. Apabila kita menyatakan kepadanya : ini halal, atau ini haram adalah sudah kita tegakkan dalil-dalilnya, ia akan mengelak sambil menjawab: Yusuf Qordhawi di dalam al-halal wal haram bilang begini, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, atau Hasan Al-Banna di dalam Ar-Rasail atau Sayid Quthub dalam tafsir Fi Dzi lalil Quran bilang begini! Bolehkah dalil-dalil yang jelas dipatahkan dengan ucapan-ucapan mereka?''
Karena itulah banyak diantara mereka yang masih meremehkan hukum ''merokok'' misalnya, yang telah ditegaskan keharamannya oleh ulama ahlul hadits, lewat berbagai tinjauan, karena mengikuti fatwa syaikh mereka Yusuf Qordhawi yang tidak jelas dalam menerangkan hukumnya.
MANHAJ DAKWAH YANG MELENCENG DARI SYARIAH
Kerusakan manhaj dakwah mereka diawali oleh propaganda "Tauhidu As-Sufuf" (menyatukan barisan) kaum muslimin yang mereka dengung-dengungkan. Dimana propaganda itu berkonotasi mengabaikan adanya berbagai penyimpangan aqidah yang membaluti tubuh umat Islam. Menurut mereka, cukup kita meneriakan : wa Islamah (wahai Islam), maka kita pun bersatu.
Hasan Albana pernah berkata :
"Dakwah Ikhwanul Muslimin tidaklah ditujukan untuk melawan satu aqidah, agama, ataupun golongan, karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban dakwah jama'ah ini adalah berkeyakinan fundamental bahwa semua agama samawi berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu atheisme" [Lihat qofilah Al-Ikhwan As-siisi 1/211].
Utsman Abdus Salam Nuh mengomentari ucapan itu dalam bukunya At-Thoriq ila Jama'ati Al-Umm halaman 173: "Bagaimana bisa disebut dakwah Islamiah, kalau tidak sudi memerangi aqidah-aqidah yang menyimpang, sedangkan Islam sendiri diturunkan untuk memberantas berbagai penyimpangan keyakinan dan membersihkan hati manusia dari keyakinan-keyakinan itu.
Inti pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan gerakan yang disebut Pan Islamisme, yang menyatukan umat Islam dengan berbagai keyakinannya dibawah satu panji. Ikhwanul Muslimin juga banyak mempergunakan berbagai sarana yang tidak sesuai dengan syari'at untuk mengembangkan dakwahnya.
Diantaranya : Mengadakan pertunjukan sandiwara. Dalam hal ini, Syaikh Muqbil memberikan tanggapan :"Sesungguhnya pertunjukan sandiwara itu, kalaupun tidak dikatakan dusta, amatlah dekat dengan kedustaan. Kita meyakini keharamannya, selain itu juga bukan merupakan sarana dakwah yang dipergunakan ulama kita terdahulu."
Imam Ahmad meriwayatkan satu hadits dari Ibnu Mas'ud , bahwasanya Rosulullah bersabda : Manusia yang paling keras disikda hari kiamat nanti ada tiga : Orang yang membunuh seorang nabi atau dibunuh olehnya, seorang pemimipin yang sesat dan menyesatkan, dan pemain lakon (mumatsil). [Dalam musnadnya I/407, berkata Ahmad Syakir dalam ta'liknya IV/65 :Sanadnya shahih , dan di shahihkan pula oleh Syaikh Al Bany dalam Ash Shohihah no. 281]
Beliau melanjutkan :``Yang dimaksud mumatsil disitu adalah pelukis atau orang yang melakonkan perbuatannya di hadapan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kamus``. (lihat Al-Makhroj ? Minal Fitan halaman 90). Para ulama juga lebih mengharamkan (sandiwara) lagi, tatkala sering terjadi dalam sandiwara seseorang harus memerankan diri sebagai orang kafir, bahkan penyembah berhala yang mempraktekkan ibadahnya di hadapan patung. Dan banyak lagi yang lainnya.
[Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan menjelaskan :"Pendapat saya , bahwa sandiwara (itu) Tidak Boleh!! Karena bebarapa sebab :
[1]. Tujuan sandiwara adalah membuat para hadirin tertawa
[2]. Tasyabuh dengan orang-orang yang tidak baik
[3]. Cara da'wah seperti ini bukanlah cara da'wah yang dicontohkan nabi صلی الله عليه وسلم dan para Salafusholih. Sandiwara-sandiwara tersebut tidaklah dikenal kecuali dari orang-orang kafir yang menular kepada kaum muslimin dengan alasan da'wh.dpun menjdikn sandiwara sebagai wasilah da'wah "ini Juga Tidak Benar, karena wasilah da'wah adalah Taufiqiyah/ sudah tetap diatur.lih. Al Ajwibatu mufidah hal :62-63]
[Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam bukunya :At-Tamstil" hal 18: "Akhirnya para ulama peneliti mengetahui bahwa bibit sandiwara ini dari syiar ibadah orang-orang Yunani." .Syaikh Hamud ibnu Abdillah at-Tuwajiri juga menegaskan :"Sesungguhnya menjadikan sandiwara sebagai sarana da'wah kepada Allah bukanlah termasuk Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafaur Rasyidin.Akan tetapi ini adalah cara da'wah yang diada-adakan di jaman kita. Lihat Al Hujjatul Qowiyyah hal :64-64 oleh Syaikh Abdussalam Ibnu Barjas, cet Daarussalaf]
MENDAHULUKAN URUSAN POLITIK DARIPADA SYARI'AT
Meski secara lahir, jama'ah Ikhwanul Muslimin selalu menggembar-gemborkan harus tegaknya kekuasaan Islam, namun secara mengenaskan mereka hanya menjadikan itu sebagai slogan umum yang aplikasinya meninggalkan dakwah tauhid dan menjejali orang awam hanya dengan propaganda politik mereka.
Kita sudah bosan dengan dengungan politik yang membuat manusia jahil dengan agamanya, mereka hidup terpecah belah dengan tidak mengenal agamanya, tidak mengenal bagaimana shalat yang sesuai dengan sunnah RasulNya صلی الله عليه وسلم .Apakah kita akan menyibukkan manusia dengan politik ???Padahal keadaan umat seperti ini ???Mengapa manusia tertipu dengan slogan ini , padahal jika mansuia belajar dien, maka dengan sendirinya manusia akan menolak yang berasal dari luar agamanya.
Contohnya, ketika mereka mengakui bahwa syarat pemimpin Islam yang ideal adalah ilmu dan taqwa, mereka justru mengangkat Mujadidi sebagai pemimpin Afghanistan, hanya demi menyenangkan banyak pihak termasuk dunia barat.
Hal itu diungkapkan oleh Abdullah Al-Azham dalam majalah Al-Jihad nomor 52 maret 1989 : "Mujadidi adalah profil pemimpin ideal menurut dunia Internasional khususnya barat. Hal itu akan memuluskan jalan Afghanistan untuk menjadi negara yang diakui di dunia secara formal....." (At-Thoriq 214) juga akan kita dapati, bahwa para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin lebih banyak berbicara dan mengulas tentang politik daripada aqidah, dalam majalah, buku-buku bahkan di podium-podium, sampai-sampai dikala menyampaikan khotbah jum'at."
Masih banyak lagi penyimpangan dakwah Ikhwanul Muslimin yang tak mungkin dirinci disini satu persatu. Semuanya sudah banyak diulas ulang oleh para ulama ahlul Hadits. Yang jelas, gerakan ini turut membidani kelahiran berbagai gerakan sejenis di berbagai negara. Di Libanon seperti At-Tauhid, di Palestina Hammas, di Mesir Jama'ah Islamiah, di Aljazair FIS, di Malaysia Darul Arqom, di Indonesia seperti NII (Negara Islam Indonesia) yang sebelumnya dikenal dengan Darul Islam atau DI TII, Al-Usroh, Komando Jihad, JAMUS (Jama'ah Muslimin), dan lain-lain.
[Disalin dari tulisan Membongkar Kesesatan Dan Penyimpangan Gerakan-Gerakan Islam, Penulis Abu Ihsan Al-Atsari Al-Medany, Ta'liq Abu Unaisah Al-Atsary dan Ibnu Bilal Al-Banyuwangi]
Read More...
Meniti jalan di atas Al Qur'an dan As Sunnah dengan pemahaman para Shahabat Radhiallahu'anhum
Senin, 17 Januari 2011
HAKIKAT IKHWANUL MUSLIMIN II
HAKIKAT IKHWANUL MUSLIMIN I
Beberapa Contoh Ucapan dan Perbuatan Lain Tokoh-tokoh IM yang Menyimpang dari Syariat Islam-
1. Mursyid umum IM pertama, Hasan Al Banna adalah pengikut tarekat sufi “Al Hashaafiyyah Asy Syaadzaliyyah” yang menganut paham kebatinan dan Wihdatul Wujud (paham yang meyakini bersatunya wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan wujud makhluk, maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keyakinan kotor ini). Berkata Hasan Al Banna dalam kitabnya “Mudzakkiraatud Da’wati wad Daa’iyah” (hal. 27):
“Aku menyertai para pengikut tarekat “Al Hashaafiyyah” di Damanhuur, dan aku rutin menghadiri “Al Hadhrah” (acara berkumpulnya orang-orang tarekat untuk menari-nari dan menyanyi) di masjid At Taubah pada setiap malam … dan (ketika) sayyid ‘Abdul Wahhab (pemberi ijazah keanggotaan pada tarekat “Al Hashaafiyyah”) datang aku pun menerima tarekat “Al Hashaafiyyah Asy Syaadzaliyyah” darinya, dan dia menyampaikan kepadaku gerakan-gerakan dan amalan-amalan tarekat ini.”
Bahkan dia termasuk pendiri yayasan sufiyah “Al Hashaafiyyah”, sebagaimana yang diceritakannya sendiri dalam kitabnya tersebut (hal. 28). Dalam kitab “Hasan Al Banna Biaqlaami Talaamidzatihi wa Mu’aashiriihi” (hal. 70-71) Jabir Rizq menukil ucapan Abdurrahman Al Banna (saudara kandung Hasan Al Banna) tentang sebuah majelis zikir tarekat “Al Hashaafiyyah” yang dihadiri Hasan Al Banna, yang pada waktu itu dilantunkan sebuah nasyid yang isinya mengandung keyakinan Wihdatul Wujud (paham yang meyakini bersatunya wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan wujud makhluk, maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keyakinan kotor ini). Kemudian pada kitab yang sama (hal. 71-72) sebuah nasyid yang berisi keyakinan bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم hadir bersama mereka dalam acara peringatan maulid Nabi صلی الله عليه وسلم yang mereka adakan (?!).
1. Hasan Al Banna melakukan perjalanan jauh untuk menziarahi kuburan orang-orang yang dianggap wali (?), sebagaimana yang dia sebutkan sendiri dalam kitabnya “Mudzakkiraatud da’wati wad daa’iyah” (hal. 33).
2. Hasan Al Banna mengingkari keluarnya Imam Al Mahdy di akhir zaman, padahal hadits-hadits yang menunjukkan keluarnya Al Mahdy adalah hadits-hadits yang shahih dan jumlahnya banyak sekali, bahkan mencapai derajat mutawatir. Dalam kitab “Haditsuts Tsulaatsa’ li Hasan Al Banna” (hal. 108, cet. maktabatul Quran), penyusun Ahmad ‘Isa ‘Aasyuur, Hasan Al Banna berkata:
“Termasuk nasib baik, kami tidak melihat dalam Sunnah yang shahih hadits yang menetapkan (keluarnya) Al Mahdy, hadits-hadits yang menunjukkan hal ini berkisar antara hadits lemah atau palsu.” (?!)
1. Mursyid umum IM ke-3, ‘Umar At Tilmisany adalah penggemar goyang disko ala Eropa dan musik, sebagaimana yang diceritakannya sendiri dalam kitabnya “Dzikrayaat laa Mudzakkiraat” (hal. 8), dia berkata:
“Aku mempelajari goyang disko ala Eropa di arena (disko) ‘Imaadud diin, dengan tarif 3 Junaih (mata uang Mesir) untuk setiap pengajaran satu jenis disko, maka aku mempelajari dansa, fokesterot, charleston dan tango, dan aku juga mempelajari memetik alat musik ‘Uud (kecapi/biola).”
Kalau ada yang menyangka bahwa hal ini dia lakukan sebelum dia bertobat dan menjadi mursyid umum IM, maka persangkaan ini dibantah oleh dia sendiri dalam kitabnya tersebut (hal. 3 dan 17). Tidak cukup dengan menggemari kemungkaran-kemungkaran tersebut, mursyid IM ini bahkan mencap orang-orang yang mengingkari dan mencela kegemarannya tersebut sebagai orang-orang yang terlalu keras dan ekstrim, serta menyelisihi petunjuk Nabi صلی الله عليه وسلم yang selalu memilihi hal yang mudah dan meninggalkan yang susah (?!), sebagaimana yang dia katakan dalam kitabnya di atas (hal. 4 dan 284).
1. ‘Umar At Tilmisaany meninggalkan Shalat Jum’at untuk karena menyaksikan pertunjukan film, sebagaimana yang dia sebutkan sendiri dalam kitabnya “Dzikrayaat laa Mudzakkiraat” (hal. 13), pada sub judul “Aku pernah shalat di (gedung) pertunjukan film”, dia berkata:
“Ketika aku menjalani profesiku sebagai pengacara, aku selalu datang (ke gedung pertunjukan film) pada hari jum’at untuk menyaksikan pertunjukan film, biasanya aku menggunakan kesempatan waktu istirahat untuk melakukan jama’ dan qashar shalat zhuhur dan ashar (?!) pada salah satu sudut gedung pertunjukan film tersebut.”
Tidak cukup sampai disitu, bahkan dalam kitab “Mudzakkiraat” nya (hal. 73), At Tilmisaany mewajibkan hal ini (menyaksikan film, drama/theatre dsb) bagi para da’i, dia berkata:
“Termasuk kewajiban para da’i adalah menguasai penggunaan semua sarana dan media informasi, termasuk film, drama dan televisi.”
1. ‘Umar At Tilmisaany adalah seorang perokok. Dalam kitabnya “Dzikrayaat laa Mudzakkiraat” (hal. 78) dia berkata:
“Aku adalah seorang perokok…, maka aku (pernah) berkata kepada imam (Hasan Al Banna): kalau engkau memerintahkan kepadaku (untuk meninggalkan rokok) maka akan aku tinggalkan, tapi kalau engkau diam maka aku akan terus (merokok), maka Hasan Al Banna menjawab: aku tidak memerintahkan dan juga tidak melarangmu.”
Lihat juga ucapannya dalam kitab yang sama (hal. 26).
Demikianlah nukilan-nukilan yang dapat kami sampaikan – dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala – yang kami rasa cukup untuk menjadi bukti yang menjelaskan hakikat dari kelompok IM yang sebenarnya. Tujuan kami menyampaikan ini semua tidak lain adalah untuk menunaikan kewajiban kami menyampaikan nasehat kepada saudara-saudara kami sesama kaum muslimin, khususnya bagi mereka yang terpengaruh/minimal kagum terhadap propaganda yang sering digembar-gemborkan oleh kelompok IM ini. Akhirnya, kami berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa memberikan petunjuk dan taufik-Nya kepada kita semua, serta memudahkan kita mengetahui dan mengikuti jalan yang lurus dan benar, yang telah ditempuh oleh Nabi kita Muhammad صلی الله عليه وسلم dan para sahabatnya radiallahu ‘anhum, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Read More...
DOSA IKHWANUL MUSLIMIN TERHADAP UMAT INI
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
"Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun."
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyiah
Yang dimaksud dengan sunnah hasanah dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :
(Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam) yakni menempuh satu jalan yang diridhai, yang jalan tersebut ada contoh/asalnya dalam agama ini (bukan perkara yang diada-adakan/bid'ah) dan akan menjadi contoh bagi orang lain.
Sedangkan sunnah sayyiah dalam sabda beliau:
(siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam) yakni jalan yang tidak diridhai yang tidak ada asalnya dalam agama ini. (Tuhfatul Ahwadzi, hal. 2034, kitab Al-'Ilm, bab Fi Man Da'a Ilal Huda Fatutbi'a aw Ila Dhalalah, Syarhu Sunan An-Nasa‘i lil Imam As-Sindi, 5/76)
Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar'i atau tidak. (Syarhu Sunan Ibni Majah lil Imam As-Sindi 1/90)
Namun jangan dipahami dari hadits di atas bahwa ada bid'ah hasanah dan ada bid'ah sayyiah. Prof. Dr. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul ‘Ulama, juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) berkata: "Tidak ada dalil bagi orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah sayyiah (yang jelek). Karena yang namanya bid'ah itu semuanya sayyiah, dengan dalil sabda Rasulullah:
"Seluruh bid'ah itu sesat dan semua kesesatan itu di dalam neraka."
Adapun sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
maka yang dimak-sud adalah: Siapa yang menghidupkan satu sunnah. Nabi bersabda demikian disebabkan salah seorang shahabat beliau yang datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah."
Beliau juga menyatakan: "Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid'ah hasanah) karena Nabi dalam hadits tersebut tidak menyatakan:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً
Siapa yang mengada-adakan bid'ah hasanah, namun beliau hanya menyatakan:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
sementara sunnah bukanlah bid'ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, demikianlah yang namanya sunnah. Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah - dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut, -pent.) -, maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat. Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
"Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam..."
Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid'ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka." (Dhahiratut Tabdi' wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi t dalam kitabnya yang masyhur Al-I'tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada'ah (yang diada-adakan/ bid'ah).
Al-Imam An-Nawawi t berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: "Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, - pent.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan."
Beliau juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
Sunnah Hasanah Para Nabi dan Atsar Hamidah (Dampak Positif) Dakwah Mereka
Hadits di atas mencakup amalan dan perbuatan lainnya, dan mencakup pula perkataan, pendapat dan keyakinan. Sehingga, apapun amalan kebajikan yang ada dan sesuai dengan syariat ini, atau amalan apa saja yang didorong dan diridhai oleh syariat ini, bila dilakukan oleh seseorang lalu ditiru dan dicontoh oleh orang lain berarti ia telah melakukan sunnah hasanah. Dan ia pantas, dengan izin Allah, mendapatkan janji yang tersebut dalam hadits:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً ...
"Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam..."
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah untuk mengajak manusia kepada cahaya dan petunjuk setelah sebelumnya manusia tenggelam dalam kegelapan dan kesesatan. Di tengah rusaknya umat manusia dan berkubangnya mereka dalam kesyirikan, kekufuran dan kebid'ahan, para nabi dan rasul ini tampil berdakwah mengajak mereka kembali kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya. Mereka mengadakan perbaikan di tengah kerusakan. Mereka tampil sebagai pribadi-pribadi yang mulia, berakhlak agung dan tinggi, yang menjadi suri teladan bagi umat manusia.
Di antara manusia ada yang menerima dakwah tersebut hingga mereka pun berpegang dengan tauhid dan meninggalkan kesyirikan. Bahkan di antara mereka ada yang mengikuti jejak rasul dengan berdakwah di tengah umat guna menyampaikan al-haq sebagaimana yang diajarkan para rasul tersebut.
Dan cukuplah sebagai contoh bagi kita semua di sini, dakwah Nabi kita Muhammad di tengah masyarakat jahiliyyah, di tengah musyrikin Arab yang paganis dan sangat memuja leluhur mereka. Betapa tantangan besar beliau hadapi di awal dakwah dan betapa sedikit orang yang menolong dakwah beliau. Namun semuanya beliau hadapi dan jalani dengan penuh kesabaran dan keyakinan, yang juga pada akhirnya Allah kakan memenangkan al-haq dan melumatkan al-bathil. Sedikit demi sedikit, namun pasti, orang yang mengikuti dakwah beliau bertambah hingga akhirnya manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah sebagaimana Allah kabarkan dalam firman-Nya:
إِذَا جآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (An-Nashr: 1-3)
Rasulullah menyampaikan dakwah tidak sebatas pada suku Quraisy, tapi juga kepada bangsa Arab lainnya. Bahkan kepada orang-orang ajam (non Arab), baik dari kalangan kaum musyrikin ataupun dari ahlul kitab dengan mengirimkan surat yang berisi ajakan kepada Islam. Beliau kirimkan da'i-da'i ke berbagai negeri untuk mengajari manusia tentang agama Allah.
Demikianlah, sampai akhirnya Allah wafatkan beliau dengan meninggalkan murid-murid dari kalangan shahabat yang siap meneruskan dakwah beliau kepada umat. Para shahabat mengajari para tabi'in, para tabi'in mengajari atba'ut tabi'in, para atba'ut tabi'in mengajari orang-orang setelah mereka, dan seterusnya hingga zaman kita ini, dakwah Rasulullah akhirnya tersampaikan. Agama beliau dipeluk, akhlak beliau ditiru, perjalanan hidup beliau dipelajari untuk menjadi teladan ...
Sungguh beliau meninggalkan sunnah hasanah bagi umat ini hingga beliau mendapatkan pahala dari apa yang telah beliau amalkan dan perjuangkan, berikut pahala-pahala umat beliau sampai hari kiamat dari kalangan orang-orang yang yang beriman kepada beliau, membenarkan, mengikuti, dan mengamalkan ajaran beliau.
Dakwah tauhid yang ditegakkan oleh Rasulullah meninggalkan atsar (pengaruh) yang baik pula, berupa persatuan dan kejayaan yang didapatkan oleh generasi awal umat ini dan keberkahan dalam kehidupan mereka, sebagaimana hal ini jelas bagi kita bila membaca sejarah umat ini. Demikianlah janji Allah yang tertulis dalam kitab-Nya:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأََرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهْمَ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ وَلاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan mengganti keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur: 55)
Ulama Pewaris Para Nabi
Setelah terputusnya nubuwwah, tampillah ahlul ilmi di setiap zaman dan tempat, yang berdakwah dengan dakwah para nabi dan rasul serta beramal dengan amalan mereka. Karena para ulama ini mewarisi ilmu para nabi dan rasul serta mengambil sunnah-sunnah mereka, maka dengan mereka inilah Allah menegakkan hujjah-Nya kepada umat dan dengan mereka pula Allah merahmati umat ini. Mereka menegakkan dakwah yang mubarakah (diberkahi) di tengah umat sehingga mereka pantas mendapatkan balasan yang pantas dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Mereka jadikan para rasul Allah sebagai uswah hasanah dan qudwah shalihah. Mereka berdakwah karena Allah dengan hati yang ikhlas, lisan yang jujur dan amalan badan guna menyampaikan dakwah dengan penuh hikmah dan mau'izhah hasanah (memberikan nasehat yang baik), tanpa bosan, tanpa jemu, tanpa putus asa, tanpa ragu dan tanpa mengurang-ngurangi. (Al-Manhajul Qawim fit Ta‘assi bir Rasulil Karim n, karya Syaikh yang mulia Zaid ibnu Muhammad Al-Madkhali, seorang ulama dan tokoh terkemuka dari Jizan, negeri di selatan Saudi Arabia, hal. 18-19)
Satu contoh dari ulama rabbani tersebut adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau berdakwah dengan dakwah para nabi dan rasul, yakni dakwah tauhid mengajak manusia untuk mengesakan Allah dan menjauhi kesyirikan, di tengah masyarakatnya yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid'ahan, dan khurafat. Penentangan yang beliau hadapi sangat besar. Sampai akhirnya Allah menolong dakwah beliau dengan memberikan dukungan penguasa pada waktu itu terhadap dakwah beliau. Atsar (pengaruh) dakwah beliau yang paling nyata dan bisa kita lihat sampai hari ini adalah berdirinya negeri tauhid Mamlakah Saudi Arabia yang di sana ditegakkan syariat Islam dan diberlakukan hukum-hukum Allah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah melakukan sunnah hasanah di tengah masyarakatnya yang telah melupakan tauhid dengan mengajak mereka kembali kepada tauhid. Banyak orang yang mengikuti dakwah beliau dan akhirnya terjun pula ke medan dakwah untuk mengajari umat dengan ilmu yang telah diajarkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Barakah dakwah beliau tidak hanya sebatas di negeri Saudi, bahkan sampai ke negeri-negeri lainnya dari negeri kaum muslimin termasuk negeri kita ini, dan negeri kafirin seperti Perancis, Inggris dan yang lainnya. Bahkan kitab-kitab para ulama Islam pun yang mendakwahkan Islam yang shahih yang terdahulu sampai sekarang - sebagai hasil dan manfaat dakwah beliau tersebar di penjuru negeri-negeri tersebut - dibaca dan dipelajari oleh kaum muslimin. Para pemuda Islam pun bersemangat kembali untuk mempelajari agama Allah yang murni, kembali kepada apa yang dibawa dan dijalani oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Kembali kepada pemahaman salafus shalih, menghidupkan sunnah, mempelajari, mengamalkan, dan mendakwahkannya. Lihat sejarah beliau yang begitu harum, yang ditulis para ulama kaum muslimin, di antaranya Al-Imam Muhammad ibnu Abdil Wahhab Da'watuhu wa Siratuhu oleh ulama besar diabad ini Mufti (ketua fatwa) Kerajaan Saudi Arabia Asy-Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz ibnu Baz, ‘Aqidah Muhammad ibnu Abdil Wahhab As-Salafiyyah oleh Rektor Universitas Islam Madinah Prof. Dr. Asy-Syaikh Shalih ibnu Abdillah Al-'Abud, Masyakil Da'wah Wad Du'at fi ‘Ashril Hadits oleh mantan Dekan Fak. Hadits dan Ketua Bagian Akidah, Program Pasca-sarjana Universitas Islam Madinah, Dr. Asy-Syaikh Muhammad Aman ibnu ‘Ali Al-Jami, Dahru Iftira`at Ahliz Zaigh Wal Irtiyab ‘an Da'watil Imam Muhammad ibnil Abdi Wahhab oleh mantan Ketua Bagian Sunnah pada Program Pascasarjana, Universitas Islam Madinah Prof. Dr. Syaikh Rabi' ibnu Hadi Al-Madkhali hafizhahullah, dan yang lainnya. Demikianlah sunnah hasanah yang dilakukan oleh ulama rabbani dan atsar hamidah yang mereka tinggalkan.
Sunnah Sayyiah Hizbiyyun
Bila para ulama Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah melakukan sunnah hasanah di tengah umat, yang dilakukan oleh kaum hizbiyyun adalah sebaliknya. Di antaranya Al-Ikhwanul Muslimun (atau lebih pantasnya mereka disebut Al-Ikhwanul Muflisun, orang-orang yang bangkrut dunia dan agamanya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, ulama dan imam ahlul hadits dari negeri Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i). Mereka melakukan sunnah sayyiah di tengah umat ini. Mereka tumbuhkan perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat agama ini di tengah umat, hingga mereka pantas mendapatkan ancaman dari sabda Nabi:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun."
Di antara sunnah sayyiah yang diada-adakan dan didakwahkan oleh Ikhwanul Muflisin, mereka mengajak para pemuda untuk berdakwah dengan mendendangkan nasyid dan berdakwah dengan sandiwara, drama, ataupun sinetron. Dan lihatlah hari-hari ini pengaruh dari sunnah sayyiah mereka.... Para pemuda membentuk grup-grup nasyid, dan maraknya pentas - atau yang biasa mereka sebut konser nasyid - di berbagai kota di negeri kita ini, sehingga para pemuda sibuk bernasyid ria. Sementara Al-Qur`an jarang mereka baca, kitab-kitab hadits dan ulama tidak pernah mereka telaah. Dengan nasyid, mereka telah dipalingkan dari perkara kebaikan dan amalan shalih. Konyolnya lagi, nasyid yang mereka namakan Islami tersebut diiringi dengan alat-alat musik muharramah (yang diharamkan). Dan para pemuda ini, sambil bergaya dan bergoyang di hadapan para wanita ataupun para akhwat yang menontonnya, mereka berupaya mengeluarkan segala upayanya dalam bidang tarik suara ini.
Dalam acara yang lain - walaupun menurut mereka adalah dalam rangkaian dakwah - para pemuda tersebut disibukkan dengan pentas drama, membintangi sinetron atau film. Sehingga di antara mereka ada yang kita dapati berperan sebagai Abu Bakr Ash-Shiddiq, sebagai ‘Umar Al-Faruq, sebagai ‘Utsman dan lainnya. Atau sebagai para tokoh musyrikin seperti Abu Jahal, Abu Lahab atau kafirin seperti Heraklius dan pasukannya, ataupun para Yahudi, bahkan seperti setan juga iblis la'natullah ‘alaihi. Dan sekali lagi, semua ini dalam anggapan mereka sebagai sarana untuk menyampaikan dakwah kepada umat ini. Mereka tidak peduli dengan keharaman yang mereka langgar karena kaidah yang mereka pegangi: untuk mencapai tujuan boleh menghalalkan segala cara. Untuk berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat, boleh memakai cara-cara yang haram.
Ulama besar terkemuka di dunia ini, imam dan guru besar imam-imam ahlul hadits pada zaman ini, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ketika ditanya tentang nasyid Islami atau diniyah, beliau memberikan komentarnya: "Yang kami lihat atas apa yang dinamakan nasyid diniyah pada hari ini, sebenarnya dulunya merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada tarekat sufiyah. Namun kebanyakan para pemuda yang beriman dulunya juga mengingkarinya, karena dalam nasyid tersebut terdapat pujian yang melampaui batas kepada Rasul dan ber-istighatsah kepada beliau, tidak kepada Allah. Kemudian muncul dan berkembanglah nasyid-nasyid baru. Dan menurut keyakinanku, ini adalah pengembangan dari nasyid-nasyid terdahulu tersebut, walaupun ada beberapa perubahan seperti menjauhi senandung kesyirikan dan pemujaan kepada selain Allah yang didapati pada senandung nasyid-nasyid terdahulu." (dari kitab Hadzihi Da'watuna Wa ‘Aqidatuna hal. 52-53)
Beliau juga menyatakan: "Siapa saja yang mau membahas dan meneliti di dalam Kitabullah, hadits Rasul ataupun petunjuk dan jalan salafus shalih, mutlak dia tidak akan mendapati apa yang dinamakan nasyid diniyah ini, walaupun mungkin sudah ada perubahan pada senandung nasyid tersebut dari nasyid-nasyid dahulu yang mengandung (perbuatan) melampaui batas memuja dan menyanjung kepada Rasul." (Hadzihi Da'watuna Wa ‘Aqidatuna, hal. 62)
Syaikh yang mulia Muhammad ibnu ‘Utsaimin t (Anggota Dewan Majelis Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia) berkata: "Nasyid Islami (yang digandrungi orang-orang saat ini) adalah nasyid bid'ah. Hal ini menyerupai apa yang diada-adakan kalangan sufi. Oleh karena itu, sepantasnya (seseorang) berpaling dari nasyid tersebut kepada nasehat-nasehat yang datang dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kecuali di medan-medan peperangan yang dibutuhkan penyemangat untuk maju ke garis terdepan atau ketika berjihad di jalan Allah, maka hal ini tentunya baik. Dan apabila nasyid tersebut diiringi dengan duff (rebana), tentunya lebih jauh lagi dari kebenaran." (Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21-22)
1. Beliau juga berkata: "Adapun hukum nasyid, kami memandang (agar) tidak diamalkan dan tidak didengarkan, karena:
2. Melalaikan manusia dari (mendengar dan membaca, - pen.) Al-Qur`an dan mengambil nasehat darinya
3. Dalam kesempatan yang lain beliau berkata: "Memalingkan hati manusia dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang dari keduanya diperoleh nasehat yang hakiki, sehingga nasyid tidak sepantasnya dijadikan sebagai nasehat oleh seseorang."
4. Menyerupai lagu-lagu dan nyanyian secara sempurna, sebagaimana disampaikan kepadaku bahwasanya sekarang nasyid telah digubah menjadi senandung lagu dan nyanyian.
5. Manusia dibuat terlena dan mabuk kepayang dengannya. Sebagaimana mereka juga dibuat seakan-akan beribadah, kembali dan tunduk (kepada Allah) dengan nasyid tersebut. Dan demikianlah yang sering kita dapati dari nasyid tersebut. Oleh karena itu, kami memandang agar manusia tidak mendengarkannya dan tidak menjadikannya sebagai suatu kesenangan. Akan tetapi, jika suatu saat mereka merasakan lemah jiwanya dan ingin mendengarkannya (untuk menghibur diri dan menguatkannya), maka tidak mengapa dengan syarat nasyid tersebut tidak diiringi alat-alat musik. Dan dalam kesempatan yang lain beliau menyatakan: "... Tidak disenandungkan sebagaimana lagu dan nyayian ataupun menggunakan alat-alat musik, karena yang demikian diharamkan."
6. Nasyid merupakan agama warisan kaum sufiyah. Karena merekalah yang mengumpulkan dzikir-dzikir mereka semisal nasyid-nasyid ini. (Bayanul Mufid fi Hukmit Tamtsil wal Anasyid hal. 10 dan 12, dinukil dari kitab Fatawa ‘Ulamal Islam Al-Amjad fi Hukmit Tamtsil wal Insyad hal. 15-16)
Prof. Dr Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul Ulama, juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) berkata: "Perkara yang pantas mendapatkan peringatan adalah apa yang beredar di kalangan para pemuda yang agamis berupa kaset-kaset rekaman nasyid yang didendangkan secara bersama-sama, satu suara, yang mereka istilahkan Al-Anasyid Al-Islamiyyah (nasyid-nasyid Islami). Padahal sungguh ini merupakan satu jenis nyanyian. Bahkan terkadang nasyid itu didendangkan dengan suara yang membuat fitnah. Nasyid ini dijual di toko-toko bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`anul Karim dan muhadharah diniyyah (ceramah agama).
Penamaan nasyid ini dengan nasyid Islami adalah penamaan yang salah. Karena Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita, namun yang disyariatkan adalah dzikrullah, membaca Al-Qur`an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Adapun nasyid, maka ia berasal dari agama bid'ah sufiyyah, yang mereka menjadikan agama mereka sebagai permainan dan sesuatu yang sia-sia. Menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama merupakan perbuatan tasyabbuh (penyerupaan) dengan Nasrani, yang menjadikan agama mereka sebagai nyanyian secara berkelompok (paduan suara) dan senandung-senandung yang merdu. Maka wajib memperingatkan (kaum muslimin) dari nasyid-nasyid ini, dan wajib melarang penjualan dan pendistribusiannya. Ditambah lagi keberadaan nasyid ini terkadang berisi senandung yang membakar dan mengobarkan api fitnah dibarengi dengan semangat yang ngawur, juga mengakibatkan ditaburkannya benih perselisihan di kalangan muslimin.
Terkadang orang yang melariskan nasyid-nasyid ini berdalil dengan perbuatan para shahabat yang mengucapkan syair-syair di sisi Nabi dan beliau mendengarkan dan menetapkannya. Maka dijawab bahwa syair-syair yang diucapkan di sisi Rasulullah tidaklah disenandungkan dengan satu suara secara bersama-sama seperti bentuk nyanyian. Juga, hal tersebut tidak dinamakan nasyid Islami, tapi hanyalah syair-syair Arab yang berisi hikmah, permisalan, gambaran keberanian dan kedermawanan. Para shahabat pun mendendangkannya sendiri-sendiri karena dalam syair itu ada makna-makna yang telah kita sebutkan. Mereka mengucapkan sebagian syair ketika sedang melakukan pekerjaan yang melelahkan seperti membangun bangunan dan berjalan di malam hari saat safar. Ini menunjukkan bahwa dibolehkannya jenis nasyid yang demikian hanya dalam keadaan-keadaan yang khusus, bukan untuk dijadikan sebagai satu bidang/ bagian dari tarbiyah dan dakwah sebagaimana kenyataan yang ada sekarang." (Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 3/184-185, sebagaimana dinukil dari catatan kaki Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21)
Demikian perkataan ulama umat ini, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan keterangan ilmiah dan amanah agama, mereka memaparkan keberadaan nasyid yang katanya Islami tersebut. Sehingga seandainya ada yang membolehkan, itu pun dengan ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan dan dipenuhi. Kita tidak mengambil pandangan ahlul hawa wal bida' karena pandangan mereka tidak teranggap dan tidak punya nilai di mata umat ini. Selain itu, pandangan mereka pasti menyelisihi ulama umat ini dengan membolehkannya. Sementara pembolehan ini didukung dan bersumber dari hawa nafsu mereka, sama sekali tidak ilmiah, sebagaimana akan disebutkan sebagiannya nanti insya Allah.
Adapun mengenai tamtsil (sandiwara, drama, fragmen, lawak, pantomim, film ataupun dunia teater yang sejenisnya) maka pengharamannya adalah dengan nash dan kesepakatan ulama umat ini. Dan tidak ada dalil bagi mereka yang membolehkannya dengan dalih mashalih al-mursalah ataupun mashlahat da'wah, sebagaimana penyeru hawa nafsu dan bid'ah pada zaman ini sering mendengungkan kalimat yang haq ini, tetapi yang diinginkan adalah pembenaran terhadap kebatilan. Sehingga pantas kalau kita katakan pada mereka: "Muutuu bi kaidikum" (Matilah kalian dengan tipu daya kalian).
Di antara nash yang mencela dan melarang tamtsil (meniru-niru dan memerankan seseorang) adalah hadits ‘Aisyah, bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا أُحِبُّ أَنِّي حَكَيْتُ إِنْسَانًا، وَأَنَّ لِي كَذَا وَكَذَا
"Aku tidak suka menirukan seseorang, walaupun aku diberikan ini dan itu (dari dunia ini)." (HR. At-Tirmidzi no. 2503, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam kitab Al-Mu'jamul Mufashshal (2/1149-1150) dan At-Tamtsil (hal. 18 dan 27) dinyatakan bahwasanya tamtsil itu asalnya dari Yunani dan merupakan syiar peribadatan kepada berhala. Dan hal ini tidak ada asalnya dalam Islam, tidak diketahui di kalangan kaum muslimin dan tidak pula di kalangan orang-orang Arab sebelum Islam. Bahkan tamtsil ini muncul dengan tiba-tiba dan berkembang pada abad ke-14 H yang menyelinap dari gereja-gereja Nasrani, kemudian diadaptasi dalam panggung-panggung teater dan hiburan, sehingga pada waktu itu barulah kaum muslimin mengenalnya.
Asy-Syaikh yang mulia Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri t (seorang ulama besar terkemuka, mujahid dan dari ulama ahli hadits, yang telah mendapatkan Jaizah (penghargaan) Malik Faisal ‘Alamiyah dari kerajaan Saudi Arabia karena pelayanan dan pembelaan beliau terhadap agama ini), beliau berkata: "Memasukkan tamtsil sebagai (bagian) dakwah ilallah tidaklah termasuk Sunnah dan petunjuk Rasul, dan tidak pula dari Sunnah Al-Khulafa`ur Rasyidin. Tamtsil ini hanyalah perkara yang diada-adakan pada zaman kita ini. Dan sungguh Rasul telah memberi peringatan terhadap perkara yang diada-adakan ini, memerintahkan untuk menolaknya dan mengabarkan bahwa perkara tersebut jelek dan sesat." (Tahdzi rul ‘Aqil An-Nabil mimma Lifiqhil Mubihuna lit Tamtsil hal. 7-10, sebagaimana dinukil dari Al-Hujajul Qawiyyah hal. 67)
Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: "Apa yang dinamakan sandiwara Islami adalah haram dan tidak diperbolehkan, karena sandiwara mengajak kepada kedustaan dan penipuan. Sesuatu yang dibangun di atas kerusakan maka ia pasti rusak. Lagi pula, sesuatu yang berupa khayalan tidak akan memberi faedah kepada manusia. Sementara di sisi kita ada hakikat-hakikat syariat (bukan khayalan) yang jauh lebih baik dalam mendidik manusia daripada upaya pendidikan melalui khayalan. Ini adalah cara kaum musyrikin. Dan ulama telah sepakat dalam ucapan mereka: ‘Setiap kebaikan diperoleh dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan dihasilkan dari mengikuti orang khalaf'." (Hadzihi Da'watuna wa ‘Aqidatuna, hal. 45)
Guru besar kami, ulama dan imam ahlul hadits dari negeri Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i, berkata tentang dakwah menggunakan sandiwara dan nasyid: "Sandiwara (dan semisalnya - pent.) mendekati kedustaan, sekalipun ia bukan dusta. Dan kami meyakini tentang keharamannya. Bersandiwara ini tidaklah termasuk cara berdakwah menurut ulama kita yang terdahulu, semoga Allah merahmati mereka. Bahkan Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ: رَجُلٌ قَتَلَهُ نَبِيٌّ أَوْ قَتَلَ نَبِيًّا، وَإِمَامٌ ضَلاَلَةٌ، وَمُمَثِّلٌ مِنَ الْمُمَثِّلِيْنَ
"Manusia yang paling pedih azabnya di hari kiamat nanti ada tiga: orang yang dibunuh oleh seorang nabi atau ia membunuh seorang nabi, imam/pemimpin yang sesat, dan mumatstsil."
Mumatstsil bisa dimaknakan orang yang membuat gambar dan bisa pula orang yang menghikayatkan (memerankan) perbuatan orang lain. Sebagaimana hal ini tersebut dalam kitab lughah (bahasa), dan juga dipahami dari hadits:
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فِي الْيَقْظَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِنَبِيٍّ
"Siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia melihatku dalam keadaan terjaga (tidak tidur, yakni ia berarti benar-benar melihatku), karena setan tidak bisa memerankan dirinya seperti nabi (tidak bisa menyerupai nabi)." (Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 106-107)
Adapun lawak, yang sudah sangat jelas membuat kebohongan untuk membuat manusia tertawa, maka Rasul bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ باِلْحَدِيْثِ لَيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
"Celakalah orang yang mengatakan suatu ucapan untuk membuat manusia tertawa dengan ucapannya itu kemudian dia berdusta. Celakalah dia, celakalah dia!" (HR. At-Tirmidzi no. 2315, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan setelah membawakan hadits ini: "Ibnu Mas'ud telah mengatakan: ‘Sesungguhnya kebohongan itu tidak layak dilakukan, baik dalam keadaan sungguh-sungguh ataupun main-main'. Adapun ucapan yang mengandung permusuhan di antara kaum muslimin, serta mengandung sesuatu yang membahayakan agama, maka hal ini lebih berat lagi pengharamannya. Dan bagaimanapun keadaannya, pelaku perbuatan ini - yakni membuat orang tertawa dengan kebohongan - berhak mendapatkan hukuman syar'i yang dapat membuatnya jera." (Majmu' Fatawa, 32/256)
Bandingkan penjelasan ulama umat ini, dengan sunnah sayyiah yang dilakukan oleh hizbiyyun ikhwaniyyun. Dan bandingkan dengan fatwa nyeleneh Dewan Syariah mereka4 ketika ditanya tentang seni pentas. Para doktor nyeleneh yang duduk dalam dewan fatwa tersebut menyatakan bahwa seni merupakan bagian dari sarana hiburan yang baik dan mendidik serta dapat dijadikan sarana dakwah yang potensial.
Dengan pertimbangan mereka yang sempit, mereka menetapkan bahwa seni pentas dengan segala bentuknya dibolehkan dalam Islam dengan memperhatikan batasan-batasan syariah5. Mereka juga membolehkan para da'i terjun dalam dunia film "Islami". Mereka menyatakan: "Keterlibatan para da'i dalam dunia film - sebagai aktor dan aktris, selama tidak menimbulkan fitnah seperti aktor/aktris yang berakhlak jahiliyah atau keterlibatannya tidak mengundang image negatif6- dalam kondisi Islami, maka menjadi boleh bahkan dapat bernilai da'awi (dakwah), baik sebagai pemeran, penulis cerita/skenario, sutradara, produser ataupun lainnya".7
Mereka membolehkan para da'i menonton film Islami baik itu berupa video, laser disc, VCD, penayangan di TV pada bulan Ramadhan, di TIM atau di bioskop Islami8. Mereka memfatwakan bolehnya lagu Islami, nyanyian yang baik, yang menggugah semangat kerja, tidak jorok dan mengundang syahwat, dan menghalalkan semua alat musik selama tidak melalaikan.
Mereka menyatakan pula bahwa hadits-hadits yang terkait dengan hukum musik semuanya lemah, dan para ulama salaf dari kalangan shahabat Nabi dan tabi'in menghalalkan alat musik, karena para shahabat dan tabi'in tersebut melihat memang tidak ada dalil yang menjelaskan baik dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga hukum asalnya mubah9.
Sunnah sayyiah mereka juga di tengah kaum muslimin adalah memfatwakan bolehnya demonstrasi yang Islami bagi lelaki dan perempuan - walaupun pada kenyataannya demonstrasi yang kita dapati tersebut menyelisihi Islam dengan sendirinya, sebagaimana bisa disaksikan dengan mata kepala kita, seperti terjadinya ikhtilath (campur baur lelaki perempuan tanpa hijab), mengeluarkan wanita dari rumahnya dengan tanpa kebutuhan syar'i, terjadinya fitnah wanita terhadap lelaki, menyerupai orang-orang kafir, menyia-nyiakan waktu, menjadikan wanita sebagai pajangan di depan umum, memecah belah barisan kaum muslimin, membuat rakyat benci kepada pemimpinnya dan lain-lain - sebagai sarana amar ma'ruf nahi mungkar menurut mereka, dengan mengambil pendalilan yang salah dari Al-Qur`an, hadits Rasulullah dan sangkaan mereka bahwa Rasulullah dan para shahabatnya pernah melakukan demonstrasi10. Sungguh ini adalah kedustaan yang mereka ada-adakan atas nama Rasulullah dan para shahabatnya.
Mereka menyerukan kaum muslimin untuk membuat partai politik dan menghalalkannya dengan menyatakan bahwa jalan yang paling bagus untuk berdakwah adalah dengan berpartai. Pernyataan mereka ini memberi kesan bahwa Rasulullah dan para shahabatnya tidak tahu cara terbaik dalam berdakwah, karena mereka tidak membuat partai dan tidak mengajarkannya. Dan cukuplah kerusakan yang timbul dengan adanya partai-partai Islam seperti terpecah belahnya kaum muslimin, dan sekian banyak kerusakan/mafsadah lainnya.
Mereka membolehkan wanita tampil di depan umum sebagai pembicara ketika dibutuhkan, juga duduk sebagai fungsionaris partai dan duduk di parlemen bersama pria-pria yang bukan mahramnya. Para aktivis laki-laki dan perempuan boleh berinteraksi satu dengan lainnya selama bisa menjaga hati, kata mereka. Dan masih banyak lagi dosa, kejahatan dan kebobrokan yang lain, yang kalau kita mau membeberkannya tidak akan cukup di sini tempatnya, yang bisa dilihat dari fatwa-fatwa dewan syariah mereka di buku ataupun di situs mereka11.
Kita katakan kepada mereka, silakan kalian menuai buah dari sunnah sayyiah yang kalian lakukan berupa dosa orang-orang yang mengikuti dakwah dan ajakan kalian sampai hari kiamat, bila kalian tidak bertaubat dari perbuatan kalian, kemudian mengadakan ishlah, perbaikan di tengah manusia setelah sebelumnya kalian mengadakan kerusakan. Lebih dari semua ini, selain mereka telah salah dalam dakwah menggunakan nasyid, sandiwara, demonstrasi dan sebagainya, gerakan Al-Ikhwanul Muslimin ini - sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh yang mulia Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t (Ulama besar abad ini, Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Majelis Kibarul Ulama) - tidak mempunyai semangat untuk berdakwah kepada tauhidullah, mengingkari syirik dan bid'ah. Mereka memiliki cara-cara/ metode yang khusus, namun metode tersebut kurang, karena tidak adanya semangat untuk mengajak manusia kepada Allah, tidak adanya bimbingan/ajakan kepada akidah yang shahihah seperti yang dipegangi oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka juga tidak memperhatikan As-Sunnah, tidak memperhatikan hadits yang mulia dan hukum-hukum syar'iyyah yang dipegangi oleh salaful ummah. (Catatan kaki Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 115)
ditulis oleh: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari
Read More...
Sabtu, 15 Januari 2011
Syaikh Muhammad Nashruddin Al Albani : Ahli hadist yang terdzalimi
Dewasa ini kecintaan dan penghormatan terhadap ulama sangat minim sekali, bahkan betapa derasnya hujan celaan, penghinaan, kedustaan dan tuduhan pada mereka, baik karena faktor kejahilan, hawa nafsu, fanatik madzhab, cinta popularitas atau mungkin karena semua faktor tersebut!!.[1]
Seperti halnya para ulama Salaf lainnya, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani tak luput dari serbuan celaan, hinaan dan tuduhan. Beliau sendiri pernah berkata:
“Aku banyak dizhalimi oleh orang-orang yang mengaku berilmu, bahkan sebagian di antara mereka ada yang dianggap bermanhaj Salaf seperti kami. Namun -kalau memang benar demikian- berarti dia termasuk orang yang hatinya terjangkit penyakit hasad dan dengki.”[2]
Semua itu tidaklah aneh, karena memang setiap orang yang mengajak manusia kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai pemahaman para Sahabat, pasti mendapatkan resiko dan tantangan dakwah. Alangkah bagusnya perkataan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمَا جِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُوْدِيَ
“Tidak ada seorang pun yang datang dengan mengemban ajaranmu kecuali akan dimusuhi.”[3]
Tetapi percaya atau tidak, semua celaan dan tuduhan dusta tersebut tidaklah membahayakan dan menggoyang kursi kedudukan Syaikh al-Albani t, bahkan sebalik-nya, sangat membahayakan nasib para pencela beliau sendiri.
يَا نَاطِحَ الْجَبَلِ الْعَالِيْ لِيَكْلِمَهُ
أَشْفِقْ عَلَى الرَّأْسِ لاَ تُشْفِقْ عَلَى الْجَبَلِ
Hai orang yang akan menabrak gunung tinggi untuk menghancurkannya
Kasihanilah kepala anda, jangan kasihan pada gunungnya[4].
Oleh karena itu, izinkanlah kami untuk memberikan sedikit komentar tentang beberapa omongan di atas.
.
1. Al-Albani berpemahaman murji’ah
Tuduhan ini bukanlah suatu hal yang aneh lagi. Terlalu banyak bukti-bukti untuk membantah tuduhan ini, karena Syaikh al-Albani telah menjelaskan secara gamblang aqidah beliau dalam banyak tulisannya yang sangat bersebrangan dengan aqidah murji’ah.
Alangkah bagusnya ucapan beliau tatkala mengatakan: “Demikianlah yang saya tulis semenjak dua puluh tahun silam lamanya dengan membela aqidah salaf Ahli Sunnah wal Jama’ah -segala puji hanya bagi Alloh-. Namun pada hari ini, bermunculan anak-anak kemarin sore yang jahil seraya menuduh kami dengan pemahaman murji’ah!! Hanya kepada Alloh kita mengadu dari jeleknya perilaku mereka berupa kejahilan dan kesesatan!!”. [5]
Tuduhan ini juga telah dibantah oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah yang sezaman dengan beliau. Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang tuduhan murji’ah kepada Syaikh al-Albani, lalu beliau menjawab:
“Syaikh Nasiruddin al-Albani termasuk di antara saudara-suadara kami yang terkenal dari ahli hadits dan ahli sunnah wal Jama’ah. Kita memohon kepada Alloh bagi kita dan beliau taufiq untuk segala kebajikan.
Sewajibnya bagi setiap muslim untuk takut kepada Alloh terhadap para ulama dan tidak berbicara kecuali di atas ilmu”.
Demikian juga Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, beliau membantah tuduhan ini dengan kata-kata yang indah:
“Barangsiapa menuduh Syaikh al-Albani dengan pemahaman murjiah maka dia telah keliru, mungkin dia tidak mengenal al-Albani atau tidak mengetahui paham irja’!!
Al-Albani adalah seorang ahli Sunnah, pembelanya, imam dalam hadits, kami tidak mengetahui seorangpun yang menandinginya pada zaman ini[6], tetapi sebagian manusia -semoga Alloh mengampuninya- memiliki kedengkian dalam hatinya, sehingga tatkala melihat seorang yang diterima manusia, dia mencelanya seperti perbuatan orang-orang munafiq:
(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya.
(QS. at-Taubah [9]: 79)
Mereka mencela orang yang bersedekah, baik sedekah dalam jumlah yang banyak maupun sedikit.
Al-Albani yang kami kenal melalui kitab-kitabnya dan duduk bersamanya -kadang-kadang- adalah seorang yang beraqidah salaf, manhajnya bagus, tetapi sebagian manusia yang ingin mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal yang tidak dikafirkan oleh Alloh, lalu dia menuduh orang yang menyelisihi mereka dalam takfir sebagai orang murji’ah secara dusta dan bohong. Oleh karena itu, janganlah kalian mendengarkan tuduhan ini dari siapapun orangnya”.[7]
إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا فَإِنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ
Apabila Hadhami berucap maka benarkanlah
Karena kebenaran pada dirinya.
2. Al-Albani tidak mengerti fiqih
Ada lagi ucapan yang terlontar untuk mencela al-Albani, katanya:
Memang al-Albani jago dalam masalah hadits, tetapi masalah fiqih, beliau miskin!!
Sungguh ini merupakan kejahilan yang amat sangat dan ucapan seperti ini tidak lain kecuali hanya keluar dari mulut orang-orang yang jahil atau dengki[8].
* Aduhai, wahai para pencela ulama, apakah engkau lebih mengerti tentang fiqih hadits daripada orang yang engkau cela?! Bercerminlah terlebih dahulu dan simaklah bersamaku kisah berikut yang semoga bisa menjadikan pelajaran berharga bagi kita bersama:
* Al-Khothib al-Baghdadi menceritakan dari Abdulloh bin Hasan al-Hisnajani:
“Saya pernah di Mesir, saya mendengar seorang hakim mengatakan di Masjid Jami’: “Ahli hadits adalah orang-orang miskin yang tidak mengerti fiqih!!”.
Saya -yang saat itu kurang sehat- mendekati hakim tersebut seraya mengatakan: “Para sahabat Nabi berselisih tentang luka pada kaum lelaki dan wanita, lantas apa yang dikatakan Ali bin Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdulloh bin Mas’ud?”
Hakim tersebut lalu diam seribu bahasa.
Kemudian saya katakan padanya:
“Tadi engkau mengatakan bahwa ahli hadits tidak mengerti fiqih, sedangkan saya saja orang ahli hadits yang rendah menanyakan hal ini kepadamu namun engkau tidak mampu menjawabnya, lantas bagaimana engkau menuding bahwa ahli hadits tidak mengerti, padahal engkau sendiri saja tidak mengerti?!! [9]
Sungguh, barangsiapa membaca kitab-kitab al-Albani dengan adil dan inshof maka dia akan mengetahui kedalaman ilmunya dalam bidang fiqih, bacalah Silsilah Ash-shohihah, Ahkamul Janaiz, Sifat Sholat Nabi, Tamamul Minnah, kaset ceramah dan soal jawabnya, dan..dan ..dan lain sebagainya!! Bagaimana beliau bukan seorang yang faqih, padahal dia telah berkhidmah pada sunnah nabawiyyah lebih dari lima puluh tahun lamannya!!.
* Syaikh al-Albani sendiri pernah ditanya tentang omongan ini, beliau hanya menjawab: “Apakah engkau ingin aku berbicara tentang diriku?!” Terkadang beliau juga menjawab: “Jawaban omongan ini adalah apa yang engkau lihat, bukan apa yang engkau dengar”.[10]
* Ya, jawaban tentang fiqih al-Albani adalah apa yang kita lihat dalam kitab-kitabnya, soal jawabnya, dialognya, dan kaset-kasetnya, bukan apa yang kita dengar dari sebagian kalangan bahwa al-Albani miskin dalam bidang fiqih!!
* Sungguh, tuduhan ini adalah suatu kedzaliman, bagaimana seorang yang sejak umur dua puluh tahun mondar-mandir maktabah Zhohiriyyah dan terus meneliti kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu tanpa henti, setelah itu dikatakan bukan faqih?! Bertaqwalah kepada Alloh wahai pencela ulama!!
.
3. Al-Albani tidak tahu fiqhul waqi’ (realita umat)
* Tuduhan ini juga banyak terlontar, seringkali kita membaca ucapan sebagian mereka: “Barangkali saja Syaikh al-Albani saat berfatwa tentang Palestina, sedang tidak membawa buku aqidah salaf!!”.[11] Dan kata-kata sejenisnya yang bernada melecehkan!! Tuduhan ini bukan hanya Syaikh al-Albani saja yang kena getahnya, para ulama salaf lainnya juga demikian semisal Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan lain sebagainya[12].
* Fiqhul Waqi’ dalam artian mengetahui realita yang terjadi pada umat dan makar-makar musuh terhadap Islam adalah suatu kewajiban penting yang harus ditunaikan oleh sekelompok tertentu dari para penuntut ilmu yang cerdas guna mengetahui hukum syar’I mengenainya, seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, baik ilmu syar’I, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi manusia guna menuju kejayaan Islam.[13]
* Namun, apa hukumnya fiqhul waqi?! Hukumnya adalah fardhu kifayah, bila ada suatu kelompok kaum muslimin telah menunaikannya maka gugur kewajiban tersebut dari lainnya[14]. Oleh karena itu, maka kewajiban bagi kelompok muslim yang menggeluti fiqhul waqi’ untuk bekerjasama bersama para ulama, mereka akan memaparkan permasalahan dengan gambaran yang jelas dan para ulama akan menjelaskan hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan hadits, sebab kesempurnaan adalah suatu hal yang sangat jarang dijumpai pada diri seorang, artinya seorang yang menyibukkan dengan ilmu syar’I dan dalam waktu yang bersamaan dia juga menyibukkan dengan ilmu fiqhul waqi‘, ini jarang sekali terkumpul pada seseorang.
* Dengan demikian, maka tuduhan sebagian kalangan “Si fulan memang alim, tetapi dia tidak mengerti fiqhul waqi’”. Ini adalah suatu pembagian yang menyelisihi syari’at dan waqi’ (realita)[15]. Sebab ungkapan ini seakan-akan mewajibkan kepada para ulama untuk mengilmui juga ilmu sosial, ekonomi, politik, siasat perang, persenjataan dan sebagainya!! Hal ini sulit terbayangkan bisa terkumpul pada seseorang. Oleh karenanya, hendaknya kaum muslimin saling bantu-membantu antara satu dengan yang lainnya.[16]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Banyak tuduhan kepada sebagian ahli ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ (realita) dan program-program kaum munafiq dan sekuler. Hal ini bukanlah suatu aib dan celaan. Dahulu saja, Nabi tidak mengetahui keadaan sebagian orang munafiq padahal beliau adalah tuan manusia dan mereka juga bersama Nabi di Madinah bertahun-tahun lamanya. Nah, kalau demikian apakah tidak boleh kalau ulama tidak mengetahui keadaan kaum munafiqin?!!”.[17]
Namun harus kita ingat, kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap fiqhul waqi’, dengan menjadikannya sebagai metode bagi para dai dan pemuda dengan anggapan hal itu adalah jalan keselamatan, sungguh ini adalah kesalahan yang nyata[18]. Apakah kita ingin agar manusia sibuk dengan berita-berita koran, TV, radio, dan internet yang tidak bisa keabsahannya tidaak otentik dan melupakan kajian al-Qur’an dan hadits yang sangat jelas keontetikannya?! Alangkah bagusnya ucapan seorang:
مُنَايَ مِنَ الدُّنْيَا عُلُوْمٌ أَبُثُّهَا
وَأَنْشُرُهَا فِيْ كُلِّ بَادٍ وَحَاضِرِ
دُعَاءٌ إِلَى الْقُرْآنِ وَ السُّنَنِ الَّتِيْ
تَنَاسَى رِجَالٌ ذِكْرَهَا فِي الْمَحَاضِرِ
وَقَدْ أَبْدَلُوْهَا بِالْجَرَائِدِ تَارَةْ
وَتِلْفَازُهُمْ رَأْسُ الشُّرُوْرِ وَالْمَنَاكِرِ
وَبِالرَّادِيُوْ فَلاَ تَنْسَ شَرَّهُ
فَكَمْ ضَاعَ الْوَقْتُ بِهَا مِنْ خَسَائِرِ
Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan ilmu
Ke pelosok desa dan kota
Mengajak menusia kepada al-Qur’an dan Sunnah
Yang kini banyak dilalaikan manusia.[19]
Mereka menggantinya dengan koran
Dan Televisi mereka sumber kerusakan dan kemunkaran
Dan juga Radio, jangan kamu lupakan kejelekannya
Betapa banyak waktu hilang sia-sia karenanya.[20]
Akhirnya, simaklah nasehat Syaikh al-Albani tatkala berkata:
“Adapun menuding sebagian ulama atau penuntut ilmu bahwa mereka tidak mengerti waqi’ dan tuduhan-tuduhan memalukan lainnya, maka ini adalah kesalahan yang amat nyata, tidak boleh diteruskan, karena hal itu termasuk mengolok-ngolok yang dilarang oleh Nabi dalam banyak haditsnya bahkan diperintahkan untuk sebaliknya yaitu saling mencintai antar sesama”.[21]
Simak juga nasehat Syaikh Abdul Aziz bin Baz tatkala berkata:
“Sewajibnya bagi setiap muslim untuk menjaga lidahnya dari ucapan-ucapan yang tidak pantas dan tidak berbicara kecuali di atas ilmu. Menuduh bahwa si fulan tidak mengetahui realita adalah membutuhkan ilmu, dan tidak boleh dikatakan kecuali oleh seorang yang memiliki ilmu. Adapun asal menuduh begitu saja tanpa ilmu maka hal ini merupakan kemungkaran yang besar”.[22]
4. Al-Albani dan Fatwa Palesthina
Fatwa ini sangat bikin heboh. Perhatikan ucapan sebagian mereka: “Sebagian pakar menganggap fatwa al-Albani ini membuktikan bahwa logika yang dipakai al-Albani adalah logika Yahudi, bukan logika Islam, karena fatwa ini sangat menguntungkan orang-orang yang berambisi menguasai Palesthina. Mereka menilai fatwa al-Albani ini menyalahi sunnah, dan sampai pada tingkatan pikun. Bahkan Dr. Ali al-Fuqayyir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yordania menilai bahwa fatwa ini keluar dari Syetan“.[23]
Untuk menjawab masalah ini, maka kami akan menjelaskan duduk permasalahan fatwa Syaikh al-Albani tentang masalah Palesthina ini dalam beberapa point berikut[24]:
1. Hijrah dan jihad terus berlanjut hingga hari kiamat tiba.
2. Fatwa tersebut tidak diperuntukkan kepada negeri atau bangsa tertentu.
3. Nabi Muhammad sebagai Nabi yang mulia, beliau hijrah dari kota yang mulia, yaitu Mekkah.
4. Hijrah hukumnya wajib ketika seorang muslim tidak mendapatkan ketetapan dalam tempat tinggalnya yang penuh dengan ujian agama, dia tidak mampu untuk menampakkan hukum-hukum syar’I yang dibebankan Allah kepadanya, bahkan dia khawatir terhadap cobaan yang menimpa dirinya sehingga menjadikannya murtad dari agama.
* Inilah inti fatwa Syaikh al-Albani yang seringkali disembunyikan!!
* Imam Nawawi berkata dalam Roudhatut Tholibin 10/282:
“Apabila seorang muslim merasa lemah di Negara kafir, dia tidak mampu untuk menampakkan agama Allah, maka haram baginya untuk tinggal di tempat tersebut dan wajib baginya untuk hijrah ke negeri Islam…”.
5. Apabila seorang muslim menjumpai tempat terdekat dari tempat tinggalnya untuk menjaga dirinya, agamanya dan keluarganya, maka hendaknya dia hijrah ke tempat tersebut tanpa harus ke luar negerinya, karena hal itu lebih mudah baginya untuk kembali ke kampung halaman bila fitnah telah selesai.
6. Hijrah sebagaimana disyari’atkan dari Negara ke Negara lainnya, demikian juga dari kota ke kota lainnya atau desa ke desa lainnya yang masih dalam negeri.
* Point ini juga banyak dilalaikan oleh para pendengki tersebut, sehingga mereka berkoar di atas mimbar dan menulis di koran-koran bahwa Syaikh al-Albani memerintahkan penduduk Palesthina untuk keluar darinya!!! Demikian, tanpa perincian dan penjelasan!!!
7. Tujuan hijrah adalah untuk mempersiapkan kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam dan mengembalikan hukum Islam seperti sebelumnya.
8. Semua ini apabila ada kemampuan. Apabila seorang muslim tidak mendapati tanah untuk menjaga diri dan agamanya kecuali tanah tempat tinggalnya tersebut, atau ada halangan-halangan yang menyebabkan dia tidak bisa hijrah, atau dia menimbang bahwa tempat yang akan dia hijrah ke sana sama saja, atau dia yakin bahwa keberadaannya di tempatnya lebih aman untuk agama, diri dan keluarganya, atau tidak ada tempat hijrah kecuali ke negeri kafir juga, atau keberadaannya untuk tetap di tempat tinggalnya lebih membawa maslahat yang lebih besar, baik maslahat untuk umat atau untuk mendakwahi musuh dan dia tidak khawatir terhadap agama dan dirinya, maka dalam keadaan seperti ini hendaknya dia tetap tinggal di tempat tinggalnya, semoga dia mendapatkan pahala hijrah. Imam Nawawi berkata dalam Roudhah 10/282: “Apabila dia tidak mampu untuk hijrah, maka dia diberi udzur sampai dia mampu“.
* Demikian juga dalam kasus Palesthina secara khusus, Syaikh al-Albani mengatakan: “Apakah di Palesthina ada sebuah desa atau kota yang bisa dijadikan tempat untuk tinggal dan menjaga agama dan aman dari fitnah mereka?! Kalau memang ada, maka hendaknya mereka hijrah ke sana dan tidak keluar dari Palesthina, karena hijrah dalam negeri adalah mampu dan memenuhi tujuan”.
* Demikianlah perincian Syaikh al-Albani, lantas apakah setelah itu kemudian dikatakan bahwa beliau berfatwa untuk mengosongkan tanah Palesthina atau untuk menguntungkan Yahudi?!! Diamlah wahai para pencela dan pendeki, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kejahilan dan kezhaliman kalian!!.
9. Hendaknya seorang muslim meyakini bahwa menjaga agama dan aqidah lebih utama daripada menjaga jiwa dan tanah.
10. Anggaplah Syaikh al-Albani keliru dalam fatwa ini, apakah kemudian harus dicaci maki dan divonis dengan sembrangan kata?!! Bukankah beliau telah berijtihad dengan ilmu, hujjah dan kaidah?!! Bukankah seorang ulama apabila berijtihad, dia dapat dua pahala dan satu pahala bila dia salah?! Lantas, seperti inikah balasan yang beliau terima?!!
11. Syaikh Zuhair Syawisy mengatakan dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Al Furqon, edisi 115, hlm. 19 bahwa Syaikh al-Albani telah bersiap-siap untuk melawan Yahudi, hampir saja beliau sampai ke Palesthina, tetapi ada larangan pemerintah untuk para mujahidin”.
Syaikh al-Albani sampai ke Palesthina pada tahun 1948 dan beliau sholat di masjidil Aqsho dan kembali sebagai pembimbing pasukan Saudi yang tersesat di jalan. Lihat kisah selengkapnya dalam bukunya berjudul “Rihlatii Ila Nejed”. (perjalananku ke Nejed).
Kami kira, keterangan singkat di atas cukup untuk membungkat mulut-mulut durhaka dan tulisan-tulisan hina yang menuding dengan sembrangan kata[25]!! Wallahu A’lam.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
www.abiubaidah.com
.
Catatan Kaki:
[1] Lihat Silsilah ash-Shohihah (I/4 dan II/17) oleh al-Albani.
[2] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah 1/29
[3] HR. Al-Bukhori (no. 7) dan Muslim (no. 160).
[4] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi Ibnu Abdil Barr 2/310
[5] Adz-Dzabbul Ahmad ‘an Musnad Imam Ahmad hal. 32-33
[6] Apakah setelah pujian ini, kita percaya kepada ucapan para penyusun buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” hlm. 241 bahwa Syaikh al-Utsaimin menilai al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali!! Hanya kepada Alloh kita mengadu dari kebutaan dan kejahilan!!!
[7] Lihat At-Ta’rif wa Tanbi’ah bi Ta’shilatil Imam al-Albani fi Masailil IMan war Radd ‘alal Murjiah hlm. A43-144, Ar-Raddul Burhani, Ali Hasan al-Halabi hal. 72-74 dan Al-Imam Al-Bani wa Mauqifuhu Minal Irja’, Abdul Aziz ar-Rayyis hal. 40-43
[8] Lihat Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal Ibnul Jauzi hal. 67)
[9] Syaraf Ashabil Hadits hal. 142
[10] Hayah al-Albani 2/502
[11] Sebagaimana dikatakan oleh penulis artikel “Mengapa Salafi Dimusuhi Umat” dalam Majalah Risalah Mujahidin edisi no. 1/Th. 1, Ramadhan 1427 H/September 2006 M, hlm. 2. Artikel ini telah dibantah oleh Ustadzunal Karim Aunur Rofiq bin Ghufron dalam Majalah al-Furqon edisi 5/Th. VI.
[12] Saya yakin bahwa para ulama yang dituding tidak mengerti waqi’ semisal Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani dan sebagainya, justru mereka lebih mengerti tentang fiqhul waqi’ daripada para pelontar tuduhan yang ngawur itu!! Barangsiapa membaca siroh perjalanan hidup mereka, maka akan membenarkan ucapan saya.
[13] Lihat Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, al-Albani hlm. 34-35.
[14] Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkholi: “Apabila sebagian kelompok mengaku bahwa mereka mengetahui fiqhul waqi’, lantas mengapa mereka mencela kaum salafiyyin dan mensifati mereka tidak mengerti waqi?! Bukankah kewajiban salafiyyin telah gugur karena adanya sebagian kaum muslimin yang menunaikannya?! (Ahlul Hadits Humut Thoifah al-Manshurah hlm. 92).
[15] Pembagian ulama waqi’ dan ulama syari’at mengingatkan kita kepada pembagian kaum Sufi: Ulama syari’at dan ulama hakekat untuk memisahkan manusia dari para ulama robbaniyyun. Ini adalah salah satu dari sekian banyak dampak negatif dari salaf faham tentang fiqhul waqi. Lihat secara panjang lebar dalam buku Fiqhul Waqi’ Baina Nadhoriyyah wa Tahtbiq hlm. 44-60 karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.
[16] Idem hlm. 39-41
[17] Wujub Tho’athis Shulthon fi Tho’atir Rohman -secara ringkas-, Muhammad al-’Uraini hlm. 44-45, dari Madarikun Nadhor, Abdul Malik Romadhoni hlm. 199-200
[18] Idem. hlm. 48 dan 57.
[19] Siyar A’lam Nubala 18/206. Adz-Dzahabi berkomentar: “Syairnya Ibnu Hazm ini sangat indah sekali sebagaimana engkau lihat sendiri”.
[20] Mawarid azh-Zhom’an 3/4, Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[21] Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, al-Albani hlm. 59-60.
[22] Majalah Robithah Alam Islami, edisi 313, dinukil dari Qowa’id fi Ta’amul Ma’a Ulama, Abdur Rahman Mu’alla al-Luwaihiq hal. 108.
[23] Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU.. hlm. 244.
Faedah: Para penulis buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” dalam hujatan mereka terhadap al-Albani banyak berpedoman kepada buku “Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa Ulama” karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dan Syaikh Salim al-Hilali. (Lihat Fatawa Ulama Akabir Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho’ Min Hayati Imamil Al-Albani Syaikh Abu Asma’ hlm. 88). Dengan demikian, jatuhlah nilai hujatan mereka terhadap al-Albani dari akarnya. Alhamdulillah.
[24] Lihat As-Salafiyyun wa Qodhiyyatu Falestina hal. 14-37. Lihat pula Silsilah Ahadits ash-Shohihah no. 2857, Madha Yanqimuna Minas Syaikh, Muhammad Ibrahim Syaqroh hlm. 21-24, al-Fashlul Mubin fi Masalatil Hijrah wa Mufaroqotil Musyirikin, Husain al-Awaisyah, Majalah Al-Asholah edisi 7/Th. II, Rabiu Tsani 1414 H.
.
[25] Syaikh al-Albani mengatakan: “Sesungguhnya apa yang ditulis oleh saudara yang mulia Muhammad bin Ibrahim Syaqroh dalam risalah ini berupa fatwa dan ucapanku adalah kesimpulan apa yang saya yakini dalam masalah ini. Barangsiapa yang menukil dariku selain kesimpulan ini, maka dia telah keliru atau pengikut hawa nafsu”.
Read More...
TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA
Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana mungkin seorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal nama dan sifat Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah ini tidak terlalu rumit, lantaran mereka dapat menyikapinya secara proporsional. Namun, masalah ini kini menjadi krusial, lantaran percikan syubhat para ahli bid’ah yang kurang puas dengan manhaj salaf dalam Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir dan merubah dalil yang shahih dari makna aslinya, padahal -kalau disadari- sebenarnya mereka telah membeo kaum Yahudi yang terlaknat.
Contohnya terlalu banyak kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi cukuplah sebagai perwakilan, hadits tentang nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, dimana hadits ini telah diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat jalan dan terombang-ambing dalam kebingungan nan kegelapan.
Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk mengkaji hadits tersebut dan menguraikan belitan syubhat para pengekor hawa nafsu seputar hadits tersebut. Semoga Allah selalu meneguhkan kita untuk meniti di atas jalanNya yang lurus. Amiin.
TEKS HADITS
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ
يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1]
.
HADITSNYA MUTAWATIR
Hadits tentang nuzulnya Allah tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:
1. Imam Abu Zur’ah berkata[2]: “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”.
2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari Nabi”.[3]
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”.[4]
4. Imam Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang adil dari Nabi”.[5]
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke generasi selanjutnya[6]. Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh banyak sahabat”.[7]
6. Imam Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”.[8]
7. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [9]
Demikian pula ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi[10], Al-Kattani [11]dan Al-Albani[12].
.
Daftar Sahabat Periwayat Haditz Nuzul
Hadits nuzul ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya
* Abu Bakar Ash-Shiddiq,
* Ali bin Abi Thalib,
* Abu Hurairah,
* Jubair bin Muth’im,
* Jabir bin Abdullah,
* Abdullah bin Mas’ud,
* Abu Sa’id Al-Khudri,
* Amr bin ‘Abasah,
* Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani,
* Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi,
* Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya,
* Abu Darda’,
* Mu’adz bin Jabal,
* Abu Tsa’labah Al-Khusyani,
* Aisyah,
* Abu Musa Al-Asy’ari,
* Ummu Salamah,
* Anas bin Malik,
* Hudzaifah bin Yaman,
* Laqith bin Amir Al-‘Uqaili,
* Abdullah bin Abbas,
* Ubadah bin Shamith,
* Asma’ binti Yazid,
* Abul Khaththab,
* ‘Auf bin Malik,
* Abu Umamah Al-Bahili,
* Tsauban,
* Abu Haritsah, dan
* Khaulah binti Hakim. [13]
.
SYARH HADITS
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Para salaf, para imam dan para ahli ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf menyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat yang terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”. [14]
Imam Al-Ajurri berkata:
“Iman dengan ini wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana Allah turun? Dan tidak ada yang mengingkari ini kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya adalah wajib tanpa takyif (membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari Rasulullah bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama menerima semua itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan: “Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”. Mereka waspada darinya dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [15]
Imam Ibnu Khuzaimah berkata:
“Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan ‘Iraq meriwayatkan dari Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita bersaksi dengan persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan dengan hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita bahwa Dia turun, sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk menjelaskan sesuatu yang dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita membenarkan hadits-hadits ini yang berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan sifat turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah”.[16]
Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. [17]
.
SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Dari segi sanad, sepertinya para ahli bid’ah tidak dapat berkutik apa-apa lagi lantaran sangat kuatnya. Namun mereka tetap tidak putus asa untuk menaburkan debu dengan mengarahkan bidikan pada matan (kandungan) hadits ini, seperti:
A. Tasybih
Mereka mengatakan[18]: Kalau kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun itu berarti Allah serupa dengan makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. [19](QS. Asy-Syura: 11).
Jawaban:
Kaidah kita dalam masalah Asma wa Sifat adalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau rasulullah dalam haditsnya yang shahih tanpa menyerupakannya dengan sesuatupun dan mensucikanNya tapa mengingkari sifat-sifatNya sebagaimana firman Allah:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat. (QS. Asy-Syura: 11).
* Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya” merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
* Adapun firmanNya: وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ“Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. Merupakan bantahan terhadap golongan yang merubah makna sifat dan mengingkarinya. Jadi, kewajiban kita adalah menetapkna apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan menafikan apa Dia nafikan tanpa tahrif (merubah makna) dan ta’til (mengingkarinya). Inilah manhaj (metode) selamat yang harus ditempuh oleh setiap muslim, karena dibangun di atas ilmu dan kelrusan dalam i’tiqad. [20]
Imam Syaukani berkata,
“ Barangsiapa yang memahami dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya niscaya dia akan meniti di atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan perselisihan manusia dalam masalah sifat-sifat Alloh. Lebih mantap lagi apabila engkau merenungi makna firman Allah: “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. karena penetapan ini setelah peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap dan obat penawar hati. Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas dan kuat ini, niscaya engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan meremukkan argumen para tokoh kesesatan dan ahli filsafat”. [21]
* Jadi, kita menetapkan sifat “turun” bagi Allah sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi yang mulia tanpa menyerupakannya dengan turunnya makhluk. Apabila ada yang mengingkarinya dengan alasan “kalau kita tetapkan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk”, maka ini bathil. Kita tanyakan kepadanya: Apakah anda menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah? Kalau dia tidak menetapkannya, maka dia telah mengingkari ayat di atas. Dan apabila dia menetapkannya, maka dia telah kontradiksi karena makhluk juga mempunyai sifat mendengar dan melihat. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya. Mengapa kalian menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak menetapkan sifat lainnya, padahal sama-sama berlandaskan dalil yang shahih? Sungguh ini suatu kontradiksi yang sangat ajaib sekali!!!.
* Jadi sekali lagi, menetapkan sifat turun bagi Allah bukan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk, tidak ada seorang ulama salaf-pun yang berfaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 5/252: “Apabila seseorang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya, seperti mengatakan istiwa’ Allah serupa dengan istiwa’ makhlukNya, atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk dalam segala segi”.[22]
* Lucunya, mereka menuding kaum salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj yang benar sebagai kaum musyabbihah atau mujassimah! Subhanallah, hanya kepada Allah kita mengadu!.
Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan:
“Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih[23] (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. [24]
B. Tahrif
Banyak sekali takwil dan tahrif yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka mengatakan: Bukan Allah yang turun, tetapi perintah Allah!. Ada lagi yang mengatakan: Rahmat Allah! Lain lagi mentakwilkan: Malaikat dari para malaikat Allah!. Adapun KH. Sirajuddin Abbas, dia berpendapat lain lagi: “Maksud hadits ini -menurut Ahlus Sunnah- bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh karena itu hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya hadits ini”. (I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah hal. 276).
Jawab:
Tahrif seperti ini adalah bathil ditinjau dari dua segi:
Secara global: Asli dalam ungkapan seseorang adalah hakekat (bukan majaz) sehingga ada dalil yang memalingkannya kepada makna majaz. Sungguh amat mustahil sekali, bila Nabi Muhammad seringkali dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar oleh banyak sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna sesungguhnya!. Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi kita Muhammad ataukah kaum Mu’tazilah dan Asyairah?! Tidakkah mereka menyadari bahwa merubah arti dari dhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh Allah?!:
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.
(QS. An-Nisa’: 46)
Lalu orang-orang yang zhalim mengganti ucapan yang tidak dierintahkan kepada mereka.
(QS. Al-Baqarah: 59)
Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tatkala mengatakan dalam Nuniyahnya 1923-1930:
أَُمِرَ الْيَهُوْدُ بِأَنْ يَقُوْلُوْا : حِطَّةٌ فَأَبَوْا وَقَالُوْا: حِنْطَةٌ لِهَوَانِ
وَكَذَلِكَ الْجَهْمِيُّ قِيْلَ لَهُ : اسْتَوَى فَأَبَى وَزَادَ الْحَرْفَ لِلنُّقْصَانِ
نُوْنُ الْيَهُوْدِ وَلاَمُ جَهْمِيٍّ هُمَا فِيْ وَحْيِ رَبِّ الْعَرْشِ زَائِدَتَانِ
Orang Yahudi diperintahkan untuk mengatakan Hithah (ampunilah).
Mereka enggan, bahkan berkata: Hinthah (gandum) demi kehinaan.
Demikian pula Jahmi dikatakan padanya: Istawa (tinggi)
Mereka enggan dan menambah huruf (istaula/berkuasa)[25].
Tambahan huruf “Nun” Yahudi dan “Lam” Jahmi
Keduanya dalam timbangan syar’I adalah tambahan.
Adapun secara terperinci:
* Urusan dan nikmat Allah tidaklah turun pada saat khusus sepertiga malam terakhir saja, bahkan kapanpun waktunya. Allah berfirman, yang artinya:
Dan apa saja nikmat yang ada ada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
(QS. An-Nahl: 53)
* Kemudian apalah faedahnya nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit dunia saja tetapi tidak turun ke bumi?!
* Adapun kalau diartikan “malaikat” maka kita jawab: Apakah masuk akal kalau malaikat mengatakan: Siapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan…?! Maka jelaslah bahwa tahrif ini adalah bathil, termentahkan oleh hadits fakta lapangan. [26]
* Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz tatkala membantah perubahan makna seperti ini:
“Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash yang shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar adalah pendapat salaf shaleh, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya. Semoga engkau bahagia dan selamat”. [27]
C. Akal-akalan
KH. Sirajuddin Abbas berkata dalam buku hitamnya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hal. 276: “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di Indonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepetiga malam sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu”.
Jawaban:
Penulis sudah pernah membantah syubhat ini[28], saya katakan waktu itu: Demikianlah jika seorang telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tiak pasrah terhadap hadits Rasul yang shahih? Bukankah Allah berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadapan keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa’: 65: )
* Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam az-Zuhri bahwasanya beliau mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk”. [29]
* Imam ath-Thohawi berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya dan mengembalikan segala kesamaran kepada Dzat yang maha mengetahui”. [30]
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:
1. Beriman dengan nash-nash yang shahih.
2. Tidak bertanya bagaimannya serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap Allah tanpa dasar ilmu, sedangkan Allah tak dapat dijangkau dengan akal fikiran.
3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman, yang artinya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat.
(QS. Asy-Syura: 11)
Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tibasepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana diberitakan oleh Nabi”. [31]
.
FIQIH HADITS
Hadits ini memiliki beberapa faedah yang banyak sekali. Dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah hal. 451-454, Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dapat menarik 38 faedah dari hadits di atas, diantaranya:
1. Ketinggian Allah di atas arsy-Nya.
Dalam hadits ini terdapat faedah berharga tentang sebuah aqidah yang banyak dilupakan oleh mayoritas kaum muslimin saat ini yaitu tentang ketinggian Allah di atas langit. Hal itu diambil dari lafadz “Turun” karena makna “turun” dalam bahasa adalah dari atas ke bawah bukan sebaliknya.
* Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata: “Hadits ini sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”.[32]
* Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [33]
2. Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah
* Faedah ini diambil dari kandungan hadits: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu maka akan Aku kabulkan…”. Sifat “kalam” merupakan salah satu sifat yang sempurna dan hakekat (bukan majaz) bagi Allah. Banyak sekali dalil yang mendukungnya, salah satunya adalah firman Allah, yang artinya:
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS. An-Nisa’: 164)
Pernah dikisahkan bahwa sebagian Mu’tazilah pernah datang kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’, salah seorang pakar ahli qira’ah: Saya ingin agar anda membaca:
وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
Dengan menashabkan (menfathah) lafadz Allah, agar supaya yang berbicara (subyek) adalah Musa, bukan Allah. Abu ‘Amr lantas menjawab: Taruhlah aku membaca ayat ini seperti itu, lantas apa yang akan kau perbuat dengan firman Allah:
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. (QS. Al-A’raf: 143)
Akhirnya, seorang Mu’tazilah itu diam seribu bahasa!. [34]
3. Keutamaan sepertiga malam terakhir
Malam hari adalah saat keheningan hati, ketenangan, keikhlasan, dimana saat itu manusia dalam kelelapan tidur. Oleh karenanya, doa pada saat itu mustajab, terutama pada malam terakhir.
Allah berfirman, yang artinya:
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzariyat: 16-17)
Nabi juga bersabda:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ
Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [35]
* Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi berkata dalam: “Sebagai penutup bab ini, tidak pantas bagi seorang yang butuh kepada Allah kemudian dia tidur di waktu malam terakhir”.[36]
Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini -wahai saudaraku- untuk memperbanyak doa, istighfar dan taubat sebelum maut menjemputmu.
اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ
Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat
Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.
Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.
Jiwanya yang sehat melayang cepat[37].
.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Abiubaidah.com
[1] HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.
[2] Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. (Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy).
[3] Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283
[4] Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100
[5] At-Tamhid 3/338
[6] Majmu Fatawa 5/372
[7] Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421
[8] Al-Uluw hal. 116 -Mukhtashar Al-Albani-
[9] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 -Mukhtashar Al-Mushiliy-
[10] Ash-Sharimul Munki hal. 229
[11] Nadhmul Mutanasir hal. 192
[12] Silsilah Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365
[13] Lihat Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini 7/198, Kitab Nuzul Ad-Daruqutni.
[14] Syarah Hadits Nuzul hal. 69-70.
[15] Asy-Syari’ah 2/93 -Tahqiq Walid bin Muhammad-.
[16] Kitab At-Tauhid wa Itsbat Shifat Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras-.
[17] At-Tamhid 3/349
[18] Bandingkan dengan buku “I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh KH. Sirajuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, cet ke 19 Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke sebuah toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang lagi oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah!!!
[19] Perhatikanlah -wahai saudaraku- para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak menyempurnakannya, karena lafadz berikutnya akan membungkam fahamnya!! Inikah amanah ilmiyah ataukah ini perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya?!.
[20] Taqrib at-Tadmuriyyah hal 12 oleh Syaih Muhammad bin Shalih Utsaimin.
[21] Fathul Qadir 4/528.
[22] Ucapan mantap ini mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering didengungkan oleh kaum kuburiyyun dan ahli bid’ah, termasuk KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama 2/215-217.
[23] Contoh mudah, tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, katanya dalam buku yang sama hal. 262: “Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan faham-faham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk”. Pada hal. 263: “Jadi beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya dalam I’tiqad”.
[24] At-Tamhid 3/351.
[25] Termasuk keajaiban dunia, KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan menguasai, bahkan membantah para ulama yang mengartikannya secara lahirnya yaitu tinggi, tak cukup hanya itu dia juga menggap bahwa mereka sesat lagi menyesatkan!!!.
[26] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 5/415-417, Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnu Qayyim 2/221-224, Syarh Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435).
[27] Ta’liq Fathul Bari 3/30.
[28] Dlam makalahnya berjudul “Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” dimuat dalam Majalah As-Sunnah edisi 12/Th V/1422 H/2001 M.
[29] Lihat Fathul Bari 13/512).
[30] Lihat Syarah Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 199).
[31] Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.
[32] Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285).
[33] At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[34] Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah 1/177 oleh Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth. Sebab kata “Rabbuhu” dalam ayat di atas mesti dan wajib sebagai subyek, tidak mungkin dirubah sebagai obyek sebagaimana tertera dalam kaidah nahwu. (Lihat Syarh Qathr Nada, Ibnu Hisyam hal. 182-183).
[35] HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442.
[36] Ad-Du’a Al-Ma’tsur wa Adabuhu hal. 68
[37] Bahjatul Majalis 3/260.
Read More...