Verily! Those who fear their Lord unseen, theirs will be forgiveness and a great reward (Al Muluk :12)

Jumat, 26 April 2013

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT JUM'AT

Sebagian kaum muslimin ada yang meninggalkan shalat Jum’at karena sikap meremehkannya serta lengah untuk menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar agama Allah, yang dalam hal itu Dia telah menyatakan dengan firman-Nya:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang-siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar agama Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]
Dan hendaklah orang yang suka mengabaikan dan meningalkan shalat Jum’at mengetahui bahwa dengan demikian itu dia telah melakukan perbuatan dosa besar sekaligus kejahatan yang besar. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengadzabnya dengan mengunci mati hatinya, sehingga dia tidak akan pernah tahu suatu kebaikan dan tidak juga dapat mengingkari kemungkaran. Dia pun tidak akan pernah merasakan nikmatnya Islam serta tidak pula merasakan manisnya iman.

Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan Abu HurairahRadhiyallahu ‘anhu. Keduanya pernah mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas pilar-pilar mimbarnya
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau Allah akan mengunci mati hati mereka yang kemudian mereka termasuk orang-orang yang lalai.” [1]
At-Tirmidzi juga meriwayatkan dan menilainya hasan, serta dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani.

Dari Abu al-Ja’d adh-Dhamri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ.
Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci mati hatinya.” [2]
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban disebutkan
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَهُوَ مُنَافِقٌ.
Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia adalah seorang munafiq.” [3]
Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ مُتَوَالِيَاتٍ، فَقَدْ نَبَذَ اْلإِسْلاَمَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ
Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at berturut-turut, sungguh dia telah men-campakkan Islam ke belakang punggungnya.” [4]
MENGULUR WAKTU DATANG KE MASJID SEHINGGA KHATIB NAIK MIMBAR
Di antara kaum muslimin ada yang berlambat-lambat ketika mendatangi shalat Jum’at sehingga khatib naik mimbar. Padahal dengan demikian itu mereka telah kehilangan banyak kebaikan serta pahala yang melimpah.

Di dalam ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) disebutkan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَـا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَـامِسَةِ فَكَأَنَّمَـا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَـامُ حَضَـرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub kemudian dia berangkat ke masjid, maka seakan-akan dia berkurban dengan unta. Barangsiapa berangkat pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi. Barangsiapa berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing yang bertanduk. Barangsiapa berangkat pada waktu keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan ayam. Dan barangsiapa berangkat pada waktu kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur. Jika imam (khatib) telah datang, maka Malaikat akan hadir untuk mendengarkan Khutbah.” [5]
Maksudnya, para Malaikat itu menutup lembaran catatan pahala bagi mereka yang terlambat sehingga tidak mendapatkan pahala yang lebih bagi orang-orang yang masuk masjid (di saat khatib sudah naik mimbar). 
Pengertian tersebut diperkuat oleh hadits berikut ini:

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Albani. Dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَقْعُدُ الْمَلاَئِكَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَعَهُمُ الصُّحُفُ يَكْتُبُونَ النَّاسَ فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ طُوِيَتِ الصُّحُفُ قُلْتُ: يَا أَبَا أُمَامَةَ لَيْسَ لِمَنْ جَاءَ بَعْدَ خُرُوجِ اْلإِمَامِ جُمُعَةٌ؟ قَالَ: بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِمَّنْ يُكْتَبُ فِي الصُّحُفِ
Pada hari Jum’at para Malaikat duduk di pintu-pintu masjid yang bersama mereka lembaran-lembaran catatan. Mereka mencatat orang-orang (yang datang untuk shalat), di mana jika imam (khatib) telah datang menuju ke mimbar, maka lembaran-lembaran catatan itu akan ditutup.”
Lalu kutanyakan, “Hai Abu Umamah, kalau begitu bukankah orang yang datang setelah naiknya khatib ke mimbar berarti tidak ada Jum’at baginya?”
Dia menjawab, “Benar, tetapi bukan bagi orang yang telah dicatat di dalam lembaran-lem-baran catatan.” [6]

TIDAK MANDI, TIDAK PULA MEMAKAI WANGI-WANGIAN, DAN TIDAK BERSIWAK PADA HARI JUM’AT
Di antara jama’ah ada juga yang mengabaikan masalah mandi dan memakai wangi-wangian pada hari Jum’at.

Padahal Islam menghendaki kaum muslimin supaya berkumpul pada hari Jum’at pada pertemuan mingguan dalam keadaan sesempurna mungkin, berpenampilan paling baik, serta memakai wangi-wangian yang paling wangi sehingga orang lain tidak terganggu oleh bau yang tidak sedap. Serta tidak juga mengganggu para Malaikat.

Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan, dari Abu Bakar bin al-Munkadir, dia berkata, ‘Amr bin Sulaim al-Anshari pernah memberitahuku, dia berkata, Aku bersaksi atas Abu Sa’id yang mengatakan, Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ
Mandi pada hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang sudah baligh. Dan hendaklah dia menyikat gigi serta memakai wewangian jika punya.” [7]
Di dalam kitab Shahiih al-Bukhari juga disebutkan, dari Salman al-Farisi, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيُدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai mi-nyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikut-nya.” [8]
[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaa-i’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Se-putar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 865), dan an-Nasa-i (no. 1370), serta Ibnu Majah (no. 794).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 15072), Abu Dawud (no. 1052), at-Tirmidzi (no. 500), an-Nasa-i (no. 1369), Ibnu Majah (no. 1125). Dan at-Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan.”
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 258/Ihsaan), Ibnu Khuzaimah (no. 1857) dengan sanad yang hasan, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 726).
[4]. Shahih Mauquf: Dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 732).
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 881) dan Muslim (no. 850).
[6]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 21765) dan selainnya yang dinilai hasan oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 710).
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 880) dan Muslim (no. 846).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 883).

Read More...

Kamis, 25 April 2013

KEUTAMAAN MU'AWIYAH BIN ABU SUFYAN


Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu'anhuma adalah salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Beliau dilahirkan 15 tahun sebelum peristiwa hijrah. Mengikut pendapat yang lebih tepat, beliau memeluk Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah, yaitu antara tahun 6 hingga 8 hijrah. [Maulana M. Asri Yusoff – Sayyidina Mu’awiyah: Khalifah Rashid Yang Teraniaya (Pustaka Bisyaarah, Kubang Kerian, 2004). Dalam sebuah hadits yang dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani rahimaullah, Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendoakan Mu’awiyah: “Ya Allah! Jadikanlah beliau orang yang memimpin kepada hidayah dan berikanlah kepada beliau hidayah.” [Silsilah Al-Ahadits Al-Shahihah hadits no: 1969]

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya hadits 2924 bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pasukan pertama daripada golongan umatku yang berperang di laut, telah dipastikan bagi mereka (tempat di syurga).” Fakta sejarah mencatatkan bahwa armada laut yang pertama bagi umat Islam dipimpin oleh Mu’awiyah pada zaman pemerintahan ‘Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Di dalam Shahih Muslim no: 2501, Abu Sufyan pernah meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Mu’awiyah menjadi jurutulis baginda. Rasulullah memperkenankan permintaan ini. Sejak itu Mu’awiyah menjadi juru tulis al-Qu’ran dan surat-surat Rasulullah, sekaligus menjadi orang yang dipercayai di sisi beliau.

Mu’awiyah juga merupakan seorang sahabat yang dihormati oleh para sahabat yang lain. Beliau diangkat menjadi gubernur di Syam semasa zaman pemerintahan ‘Umar dan ‘Utsman. Pada zaman pemerintahan beliau sendiri, pernah seorang mengadu kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Mu’awiyah melaksanakan shalat witir dengan hanya satu rakaat. Ibn Abbas menjawab: “(Biarkan), sesungguhnya dia seorang yang faqih (faham agama).” [Shahih al-Bukhari – hadits no:3765]

Demikianlah beberapa keutamaan Mu’awiyah yang sempat dinyatakan dalam tulisan ini. Dapat dikenali bahwa beliau bukanlah sebarangan orang tetapi merupakan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia.


Pendirian Mu’awiyah tentang kekhalifahan Ali.

Saat ‘Utsman ibn Affan radhiallahu ‘anhu dibunuh , Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah. Beliau dibai’at oleh sebagian umat islam. Ada sebagian lain yang tidak membai’at beliau, di antaranya ialah Mu’awiyah. Hal ini terjadi bukan karena Mu’awiyah menafikan jabatan khalifah Ali, akan tetapi Mu’awiyah menghendaki Ali terlebih dahulu menjatuhkan hukuman
qishas ke atas pembunuh ‘Utsman. Al-Imam Ibn Hazm rahimaullah menjelaskan:

“Dan tidaklah Mu’awiyah mengingkari sedikit pun keutamaan Ali dan hak beliau untuk menjadi khalifah. Akan tetapi pada ijtihad beliau, perlu didahulukan penangkapan ke atas para pembakar api fitnah daripada golongan para pembunuh ‘Utsman radhiallahu ‘anhu daripada urusan bai’at. Dan beliau juga berpendapat dirinya paling berhak untuk menuntut darah ‘Utsman.” [al-Fishal, jilid. 3]

Di sisi Ali bin Abi Thalib, beliau bukan sengaja membiarkan para pembunuh ‘Utsman berkeliaran secara bebas. Malah beliau mengetahui bahwa mereka menyamar diri dan berselindung di golongan umat Islam serta berpura-pura membai’at beliau. Akan tetapi dalam suasana umat Islam yang masih berpecah-belah, adalah sukar untuk beliau mengambil apa-apa tindakan. Sebaliknya jika umat Islam bersatu, mudah baginya untuk mengambil tindakan atas para pembunuh ‘Utsman.

Terjadinya Perang Shiffin

Setelah Perang Jamal berakhir, Ali bin Abi Thalib menghantar utusan kepada Mu’awiyah meminta beliau berbai’at kepada dirinya. Mu’awiyah menolak, sebaliknya mengulangi tuntutan beliau agar Ali mengambil tindakan ke atas para pembunuh ‘Utsman. Jika tidak, Mu’awiyah sendiri yang akan mengambil tindakan. Mendengar jawaban yang sedemikian, Ali menyiapkan pasukannya dan mulai bergerak ke arah Syam. Skenario ini menyebabkan Mu’awiyah juga mempersiapkan pasukannya dan mula bergerak ke arah Kufah. Akhirnya kedua-dua pasukan ini bertemu di satu tempat yang bernama Shiffin dan bermulalah peperangan yang dikenali dengan Perang Shiffin.

Para peneliti berbeda pendapat, kenapa Ali mempersiapkan pasukannya ke arah Syam? Persoalan ini masih memerlukan penelitian yang mendalam dengan mengambil kira faktor-faktor luar dan dalam yang
ada pada saat itu. Ali tidak akan mengambil apa-apa tindakan melainkan ia adalah untuk kemaslahatan umat Islam seluruhnya. Hal ini mengingatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang meramalkan terjadinya Perang Shiffin:

“Tidak akan datang Hari Kiamat sehingga dua golongan yang besar saling berperang. Terjadi antara kedua-duanya pembunuhan yang dahsyat padahal seruan kedua-duanya adalah satu (yakni kebaikan Islam dan umatnya).” [Shahih Muslim – hadits no: 157]

Mu’awiyah memberontak kepada Ali?
Kini penelitian kita sampai kepada persoalan: Benarkah Mu’awiyah memimpin pemberontakan ke atas Ali? Jawabannya tidak. Ini karena jika dikatakan seseorang itu memberontak kepada pemimpinnya, niscaya pemberontak itulah yang bergerak ke arah pemimpin. Akan tetapi dalam kasus Mu’awiyah, beliau tidak bergerak ke arah Ali. Sekalipun Mu’awiyah enggan membai’at Ali, beliau hanya berdiam diri di Syam tanpa memulai tindakan apa-apa. Syaikh Muhib Al-Din Al-Khatib rahimaullah (1389H) menjelaskan:

“…lalu Ali berangkat meninggalkan Kufah dan menuju di permulaan jalan yang menuju ke arah Syam dari Iraq. Ali mengisyaratkan supaya orang tetap tinggal di Kufah dan mengirimkan yang selainnya ke Syam. Sampai berada kepada Mu’awiyah bahwa Ali telah mempersiapkan pasukannya dan Ali sendiri keluar untuk memerangi beliau. Maka para pembesar Syam mengisyaratkan kepada Mu’awiyah agar dia sendiri turut keluar (untuk berhadapan dengan pasukan Ali). Maka orang-orang Syam berangkat menuju ke Sungai Furat melalui Shiffin dan Ali maju bersama pasukannya menuju Shiffin juga.

…Seandainya Ali tidak mempersiapkan pasukan yang bergerak dari Kufah niscaya Mu’awiyah tidak akan bergerak (dari Syam).” [catatan notakaki Al-‘Awashim min Al-Qawashim, hal. 166 & 168]

Dalam persoalan ini terdapat sebuah hadits yang lazim dijadikan alasan melabel Mu’awiyah sebagai pemberontak. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadits no: 2916 di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu: “Engkau akan dibunuh oleh kelompok pemberontak.” Di dalam Perang Shiffin, ‘Ammar berada di dalam pasukan Ali dan beliau terbunuh dalam peperangan tersebut. Lalu Mu’awiyah dilabel sebagai pemberontak karena pasukan beliaulah yang memerangi Ali sehingga menyebabkan ‘Ammar terbunuh.

Sebenarnya tidak tepat menggunakan hadits di atas untuk melabel Mu’awiyah sebagi pemberontak. Sebabnya:

Sejak awal para sahabat mengetahui bahwa ‘Ammar bin Yasir berada di dalam pasukan Ali. Dengan itu, sesiapa yang memerangi pasukan Ali, niscaya mereka adalah para pemberontak. Akan tetapi fakta sejarah mencatatkan bahwa banyak sahabat yang mengecualikan diri dari Perang Shiffin. Jika mereka memandang pasukan Mu’awiyah sebagai pemberontak, niscaya mereka tidak akan mengecualikan diri, malah tanpa
ragu akan menyertai pasukan Ali. Sikap mereka mengecualikan diri menunjukkan mereka tidak memandang pasukan Mu’awiyah sebagai pihak yang memberontak. Perlu ditambah bahwa hadits yang meramalkan pembunuhan ‘Ammar bin Yasir oleh kelompok pembangkang adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh lebih daripada 20 orang sahabat. [Rujuk Qathf Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah oleh Al-Imam As-Suyuthi (911H) (Al-Maktab Al-Islami, Beirut, 1985), hadits no: 104]

Ali juga mengetahui bahwa ‘Ammar bin Yasir berada dalam pasukannya. Akan tetapi Ali mengakhiri Perang Shiffin melalui perdamaian yang disebut sebagai peristiwa Tahkim. Seandainya Ali memandang Mu’awiyah sebagai pemberontak, niscaya beliau tidak akan melakukan usaha perdamaian dengannya.

Saat terbunuhnya Ali, jabatan khalifah diserahkan kepada anaknya, Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu. Tidak berapa lama setelah itu, Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah. Padahal Hasan juga mengetahui bahwa ‘Ammar bin Yasir telah terbunuh dalam Perang Shiffin. Jika Hasan memandang Mu’awiyah sebagai pemberontak, niscaya beliau tidak akan menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah. Namun Hasan tetap menyerahkannya, menunjukkan beliau tidak memandang Mu’awiyah sebagai pemberontak.

Semua ini membawa kepada persoalan seterusnya, siapakah yang sebenarnya dimaksudkan sebagai “kelompok pemberontak”? Kelompok pemberontak tersebut bukanlah pasukan Mu’awiyah maupun pasukan Ali, akan tetapi adalah orang-orang yang pada asalnya menyebabkan terjadinya peperangan antara Mu’awiyah dan Ali. Mereka adalah kelompok pemberontak yang asalnya memberontak kepada ‘Utsman ibn Affan sehingga akhirnya membunuh beliau. Diingatkan bahwa sekalipun pada zahirnya peperangan kelihatan terjadi di antara sahabat, faktor yang menggerakkannya ialah para pemberontak yang asalnya terlibat dalam pembunuhan ‘Utsman.

Syaikh Muhib Al-Din Al-Khatib rahimaullah menjelaskan hakikat ini:

“Sesungguhnya orang yang membunuh orang Islam dengan tangan kaum Muslimin setelah terjadinya pembunuhan ‘Utsman, maka dosanya berada di atas para pembunuh ‘Utsman karena mereka adalah pembuka pintu fitnah dan mereka yang menyalakan apinya dan mereka yang menipu sebagian hati kaum muslimin dengan sebagian yang lain. Maka sebagaimana mereka membunuh ‘Utsman maka mereka juga membunuh setiap orang yang mati setelah ‘Utsman, di antaranya separti ‘Ammar dan orang yang lebih utama daripada ‘Ammar yaitu Thalhah dan al-Zubair, sehinggalah berakhirnya fitnah dengan terbunuhnya Ali.

…..Segala sesuatu yang terjadi karena fitnah maka yang menanggungnya adalah orang yang menyalakan apinya karena merekalah penyebab yang pertama. Mereka itulah “kelompok pembangkang” yang membunuh, yang menyebabkan setiap pembunuhan dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin dan perpecahan yang terjadi setelah kedua-dua perang tersebut.” [catatan notakaki al-‘Awashim min al-Qawashim, hal. 173]

Kebenaran tetap bersama pemimpin.
Sekalipun dikatakan bahwa Mu’awiyah bukan pemberontak, tidaklah berarti Mu’awiyah berada di pihak yang benar. Di dalam Islam, apabila ada perbedaan pendapat antara pemimpin dan selain pemimpin, maka kebenaran terletak bersama pemimpin. Hendaklah mereka yang menyelisihi pemimpin tetap bersama pemimpin dan berbincang dengan beliau terhadap apa yang diperselisihkan. Di dalam peristiwa yang membawa kepada Perang Shiffin, pemimpin saat itu ialah Ali. Maka sikap yang lebih tepat bagi Mu’awiyah ialah tidak meletakkan syarat untuk membai’at ‘Ali, sebaliknya membai’at beliau dan kemudian berbincang dengan beliau cara terbaik untuk mengambil tindakan ke atas para pembunuh ‘Utsman.

Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahima
hullah menegaskan:

Dan Mu’awiyah bukanlah dari golongan mereka yang memilih untuk memulai perang, bahkan beliau dari golongan yang paling menghendaki agar tidak terjadi perang ….. yang benar adalah (dengan) tidak (sepatutnya) terjadinya peperangan. Meninggalkan peperangan adalah lebih baik bagi kedua-dua pihak. Tidaklah dalam peperangan tersebut (Perang Shiffin, ada satu) pihak yang benar. Akan tetapi Ali lebih mendekati kebenaran daripada Mu’awiyah. Peperangan adalah peperangan karena fitnah, tidak ada yang wajib dan tidak ada yang sunat dan meninggalkan perang adalah lebih baik bagi kedua-dua pihak. Hanya saja Ali adalah lebih benar. Dan ini merupakan pendapat (al-Imam) Ahmad dan kebanyakan ahli hadits dan kebanyakan para imam fiqh dan ini juga merupakan pendapat para tokoh sahabat dan tabi’in yang selalu mendapat kebaikan.” [Minhaj al-Sunnah, jld. 4, hal. 447-448]

Wallahu a'lam
Read More...