Verily! Those who fear their Lord unseen, theirs will be forgiveness and a great reward (Al Muluk :12)

Kamis, 14 Juli 2011

TENTANG SYAIKH MUHAMMAD HASAN AL MISHRY HAFIZHAHULLAH

Asy-Syaikh al-Muhaddits ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân

Berikut ini adalah transkrip percakapan seorang penuntut ilmu dengan Asy-Syaikh al-Muhaddits ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu via telepon. Dalam percakapan ini, Syaikh mendukung pendapat Syaikh ‘Ali al-Halabî dan masyaikh Syam akan kesalafiyahan Syaikh Muhammad Hassân.

Syaikh : Na’am (iya)*

[Catatan : Ini adalah adab seorang ulama yang patut ditiru, yaitu beliau berupaya menghindarkan diri dari tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir dengan sering mengawali percakapan di telepon dengan kata “hallo”, dan lebih memilih untuk mengucapkan “iya”, pent.]

Penanya : Assalâmu ‘alaikum warohmatullâhi wabarokâtuh

Syaikh : Wa’alaikum as-Salâm warohmatullâhu wabarokâtuh

Penanya : Hayyakumullâhu ya Syaikh

 Syaikh : Allahu yuhyîka

Penanya : Apakah diizinkan Saya merekam pertanyaan ini?*

[Catatan : Ini adalah adab penuntut ilmu, meminta izin terlebih dahulu apabila akan merekam sebuah pembicaraan, pent.]

Syaikh : Pertanyaannya apa dulu sebelum Anda merekamnya?*

[Catatan : Ini menunjukkan pemahaman yang dalam dari diri Syaikh untuk melihat jenis dan bentuk pertanyaannya sebelum beliau mengizinkannya untuk direkam.]

Penanya : Pertanyaannya wahai Syaikh, sesungguhnya sebagian saudara kita –wahai Syaikh-, mereka terpengaruh dengan Syaikh Muhammad Hassân. Saya ingin menasehati mereka, karena itu Saya ingin minta nasehat Anda untuk mereka wahai Syaikh.

Syaikh : Ada apa emangnya dengan Syaikh Muhammad Hassân? Kenapa dengan Syaikh Muhammad Hassân?

Penanya : Demi Alloh, para ulama membicarakan tentang Syaikh Muhammad Hassân.*

[Catatan : Di sini sang penanya tampak agak kaget sebab Syaikh memberikan jawaban yang berbeda dengan yang diinginkannya, Pent.]

Syaikh : Siapa ulama yang membicarakannya? Apakah Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd?!

[Catatan : Di sini Syaikh hendak menunjukkan bahwa Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad seharusnya yang menjadi rujukan di dalam masalah jarh wa ta’dîl karena beliau adalah ulama yang paling obyektif, pent.]

Penanya : Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî telah membicarakannya, dan beliau mengatakan bahwa dia (Syaikh Muhammad Hassân) adalah Quthbî wahai Syaikh.

Syaikh : ‘Ubaid al-Jâbirî ini mengambil posisi ulama tentang hal ini ataukah perkara ini merupakan haknya dan selainnya?

Penanya : Sebagian ikhwah bertanya kepada beliau dan beliau menjawab bahwa dia adalah Quthbî wahai Syaikh.

Syaikh : ‘Ala kulli hâl (biar bagaimanapun) ini merupakan ijtihâd dari Syaikh (al-Jâbirî), yang bisa benar dan bisa keliru. Sesungguhnya, saudara kami al-Akh Muhammad Hassân adalah termasuk seorang yang berilmu (ulama) dan pemilik keutamaan. Kami tidak mendakwakan bahwa beliau itu ma’shûm dan tidak pernah bersalah. Namun beliau adalah termasuk ahlus sunnah dan orang yang membela aqidah dan sunnah serta beliau termasuk jajaran da’i yang terdepan yang menampakkan pembelaan terhadap aqidah dan sunnah di dunia. Beliau banyak memberikan manfaat di Mesir, Syam dan selainnya.

Penanya : Maksudnya wahai Syaikh, Muhammad Hassân itu termasuk ahlus sunnah?

Syaikh : Iya, iya, termasuk ahlus sunnah.

Penanya : Bukannya dia memiliki kesalahan-kesalahan wahai Syaikh?

Syaikh : Tidak ada orang yang tidak memiliki kesalahan wahai saudaraku. Akan tetapi kesalahan-kesalahan beliau ini tidak mengeluarkannya dari ahlus sunnah.

Penanya : Mereka juga mengatakan bahwa dia juga seorang ikhwânî wahai Syaikh.
Syaikh : Tidak, tidak, beliau bukan seorang ikhwânî, bukan… beliau adalah seorang salafî, dan seorang salafî itu senantiasa tidak akan menyebutkan guru-gurunya kecuali Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimîn –yang beliau sendiri belajar padanya-, menyebutkan Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz dan menyebukan al-Albânî. Tidak akan selamanya dia berargumen dengan salah seorang pun selain mereka.

Penanya : Jazzâkallâhu khoyron wahai Syaikh, bârokallôhu fîka yâ Syaikh, hayyakallohu yâ Syaikh…

 

Rekaman dialog ini bisa dilihat di sini.
Read More...

Sabtu, 09 Juli 2011

ARSY ALLAH AZZA WA JALLA

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa ‘Arsy Allah dan Kursi-Nya adalah benar adanya. Allah سبحانه و تعالى berfirman: "Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mu’minuun: 116] Juga firman-Nya: “Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia.” [ Al-Buruuj: 15] Apabila seseorang Muslim mengalami kesulitan,

Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengajarkan untuk membaca:


لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّماَوَاتِ، وَرَبُّ اْلأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ
. “Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Yang Mahaagung lagi Maha Penyantun. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb (Pemilik) ‘Arsy yang agung. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb langit dan juga Rabb bumi, serta Rabb Pemilik ‘Arsy yang mulia.” [1]
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: ...


فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ
... “... Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohon-lah kepada-Nya Surga Firdaus. Sesungguhnya ia (adalah) Surga yang paling utama dan paling tinggi. Di atasnya terdapat ‘Arsy Allah yang Maha Pengasih...” [2] 

‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. ‘Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk. [3] ‘Arsy Allah dipikul oleh para Malaikat, dan jarak antara pundak Malaikat tersebut dengan telinganya sejauh perjalanan burung terbang selama 700 tahun. Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: 

أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلاَئِكَةِ اللهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيْرَةُ سَبْعِ مِائَةِ عَامٍ
. “Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat-Malaikat Allah Azza wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.” [4]

Rasulullah صلی الله عليه وسلم juga bersabda:

مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ
. “Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” [5]

Adapun tentang Kursi, Allah سبحانه و تعالى berfirman: “Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”  [Al-Baqarah : 255] Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas  رضي الله عنه menafsirkan firman Allah:
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi,” beliau berkata:

اَلْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدُرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
. “Kursi adalah tempat meletakkan kaki Allah, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Allah Ta’ala.” [6]

Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.” Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.”  [7]

Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 6345), Muslim (no. 2730), at-Tirmidzi (no. 3435) dan Ibnu Majah (no. 3883), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas.

[2] HR. Al-Bukhari (no. 2790, 7423), Ahmad (II/335, 339) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 581), dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه .
[3] Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 366-367), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
[4]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4727), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه, sanadnya shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 151), Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki. 
[5]. HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari رضي الله عنه . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/223 no. 109). 
[6]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 12404), al-Hakim (II/282) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah  (hal. 368-369), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki. 
[7]. Ibid, hal. 372.   Read More...

Kamis, 07 Juli 2011

IMAM IBNU KHUZAIMAH: IMAMNYA PARA IMAM

Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah bin Al-Mughiirah bin Shaalih bin Bakr As-Sulamiy An-Naisaabuuriy, yang mempunyai julukan : imamnya para imam (imaamul-aimmah). Kunyahnya Abu Bakr

Madzhab Fiqhiyyah
Madzhab fiqh yang ia pegang adalah Syaafi’iyyah. As-Sam’aaniy berkata :

وكان أدرك أصحاب الشافعي وتفقه عليهم
“Ia bertemu dengan shahabat-shahabat (murid) Asy-Syaafi’iy dan belajar kepada mereka” [Al-Ansaab, 2/362].
Kelahirannya
Dilahirkan di Naisaabuur pada bulan Shafar tahun 223 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/365, Al-A’laam oleh Az-Zirkiliy 6/29, dan Thabaqaat As-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh As-Subkiy 3/110].

Perjalanannya dalam Menuntut Ilmu
Ia berjalan ke berbagai negeri untuk mendapatkan hadits [Al-Muntadham oleh Ibnul-Jauziy 13/233], di antaranya negeri ‘Iraaq, Syaam, Mesir, dan yang lainnya [Al-Ansaab oleh As-Sam’aaniy 2/362]. Ia memasuki daerah Jurjaan pada bulan Rajab tahun 300 H dan meriwayatkan hadits di sana. Kemudian keluar menuju Ribaath Dahistaan dan meriwayatkan hadits di sana, dan meng-imla’-kannya di sebuah masjid tua di sana [Taariikh Jurjaan oleh Abul-Qaasim Al-Jurjaaniy hal. 413].



Guru-Gurunya
· Mendengar hadits dari Ishaaq bin Rahaawaih dan Muhammad bin Humaid, akan tetapi tidak meriwayatkan hadits dari mereka berdua dikarenakan ia menulis dari mereka ketika masih ia masih kecil sebelum ia dapat memahaminya [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/365-366].
· ‘Aliy bin Hajar di Marwa
· Yuunus bin ‘Abdil-A’laa di Mesir
· Ahmad bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy dan saudaranya yang bernama Ya’quub.
· Muhammad bin Harb di Waasith.
· Muhammad bin Abaan Al-Mustamliy
· Dan yang lainnya masih banyak [Al-Muntadham, 13/233 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/365-366].


Murid-Muridnya
o Telah menulis darinya Abu Bakr Al-Ismaa’iiliy di Jurjaan dan Dahistaan [Taariikh Jurjaan hal. 413].
o Telah meriwayatkan darinya, dua syaikhnya : Al-Bukhaariy dan Muslim di selain kitab Shahih-nya [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/366-367]. Al-Haakim berkata :
قد رأيت في كتاب مسلم بن الحجاج بخط يده: حدثني محمد بن إسحاق أبو بكر صاحبنا
“Aku pernah melihat di kitab Muslim bin Al-Hajjaaj dengan tulisan tangannya : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ishaaq Abu Bakr, shahabat kami” [At-Taqyiid oleh Ibnu Nuqthah, hal. 17].
o Syaikhnya, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Hakam.
o Cucunya, Muhammad bin Al-Fadhl bin Muhammad bin Khuzaimah.
o Abu Haatim Al-Bustiy (Ibnu Hibbaan).
o Abu Ahmad bin ‘Adiy (Ibnu ‘Adiy).
o Abu Bakr Ahmad bin Ishaaq Ash-Shibghiy.
o Abu Ahmad Al-Haakim.
o Dan yang lainnya masih banyak [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/366-367].


Sirahnya dan Perkataan Para Ulama Naqd Tentangnya
Ibnu Hibbaan berkata :

كان -رحمه الله- أحد أئمة الدنيا علما وفقها وحفظا وجمعا واستنباطا، حتى تكلم في السنن بإسناد لا نعلم سبق إليها غيره من أئمتنا، مع الإتقان الوافر والدين الشديد إلى أن توفى رحمه الله
 
“Ia – rahimahullah – salah seorang imam dunia dalam ilmu, kefaqihan, hapalan, pengumpulan (ilmu-ilmu), dan istinbaath. Hingga, ia mampu berkata/meriwayatkan hadits-hadits dengan sanad yang kami tidak mengetahui ada orang yang mendahuluinya dari kalangan imam-imam kami; bersamaan dengan pengetahuannya yang sempurna dan kebenaran agamanya hingga ia meninggal dunia, rahimahullaah” [Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Hibbaan, 9/156].

ما رأيتُ على وجه الأرض من يحفظ صناعة السنن، ويحفظ ألفاظها الصحاح، وزياداتها، حتى كأنَّ السنن كلها بين عينيه إلا محمد بن إسحاق بن خزيمة فقط
 
“Aku tidak pernah melihat di muka bumi orang yang menghapal hadits-hadits, menghapal lafadh-lafadh shahihnya, dan penambahannya hingga seakan-akan seluruh hadits berada di depan matanya, selain dari Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah saja” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/372].

Ad-Daaruquthniy berkata :

كان ابن خزيمة إمامًا ثبتًا معدوم النظير
 
“Ibnu Khuzaimah adalah seorang imam yang tsabat, tidak ada bandingannya” [Suaalaat As-Sulamiy lid-Daaruquthniy, hal 101].

Abu Sa’d As-Sam’aaniy berkata :

اتفق أهل عصره على تقدمه في العلم...وكان أدرك أصحاب الشافعي وتفقه عليهم

“Orang-orang di jamannya telah sepakat mendahulukannya dalam hal ilmu….. dan ia pernah menjumpai shahabat-shahabat Syaafi’iy dan belajar kepada mereka” [Al-Ansaab, 2/362].

Abul-‘Abbaas bin Suraij berkata :

يُخْرِج النُّكت من حديث رسول الله صلى الله عليه وآله بالمِنقَاش

“Ia mengeluarkan intisari/faedah dari hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dengan pahat[1]” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits oleh Al-Haakim, hal. 283].

Abu ‘Abdillah Al-Haakim berkata :

فضائل هذا الإمام مجموعة عندي في أوراق كثيرة، وهي أكثر وأشهر من أن يحتملها هذا الموضع

“Keutamaan imam ini terkumpul padaku dalam banyak kertas. Hal itu lebih banyak dan lebih terkenal/masyhur dari yang disebutkan di tempat ini” [idem, hal. 284].

 Muhammad bin Sahl Ath-Thuusiy berkata :

سمعت الربيع بن سليمان وقال لنا: هل تعرفون ابن خزيمة؟ قلنا: نعم. قال: استفدنا منه أكثر مما استفاد منا

“Aku pernah mendengar Ar-Rabii’ bin Sulaimaan, dan ia berkata kepada kami : ‘Apakah kalian mengetahui Ibnu Khuzaimah ?’. Kami berkata : ‘Ya’. Ia berkata : ‘Kami lebih banyak mengambil faedah darinya, daripada ia mengambil faedah dari kami” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/371].

Al-Haafidh Abu ‘Aliy An-Naisaabuuriy berkata :

كان ابن خزيمة يحفظ الفقهيات من حديثه كما يحفظ القارئ السورة

“Ibnu Khuzaimah menghapal permasalahan-permasalahan fiqh dari haditsnya sebagaimana ia seorang qaari’ menghapal satu surat (dalam Al-Qur’an)” [idem, 14/372].

لم أر أحدًا مثل ابن خزيمة

“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang semisal dengan Ibnu Khuzaimah”.

Adz-Dzahabiy memberikan komentar atas perkataan di atas :
يقول مثل هذا وقد رأى النسائي
“Ia telah berkata semisal dengan ini padahal ia pernah melihat An-Nasaa’iy” [idem, 14/372-373].

Ibnu Abi Haatim pernah ditanya tentang Ibnu Khuzaimah, lalu ia berkata :
ويْحَكُم! هو يُسال عنّا ولا نُسال عنه ! هو إمام يُقتدى به
“Celaka kamu, ia lah yang seharusnya ditanya tentang kami, dan bukan kami yang ditanya tentangnya. Ia adalah seorang imam yang diteladani” [idem, 14/377].

Adz-Dzahabiy berkata :
عنى في حداثته بالحديث والفقه، حتى صار يُضرب به المَثل في سعة العلم والاتقان
“Ia menyibukkan diri di masa mudanya dengan hadits dan fiqh, hingga menjadi patokan dalam keluasan ilmu dan itqaan” [idem, 14/365].

لابن خزيمة عظمة في النفوس، وجلالة في القلوب لعلمه ودينه، واتباعه السنة
“Ibnu Khuzaimah mempunyai kebesaran jiwa dan keagungan hati karena ilmu dan (kebaikan) agamanya, serta sikap ittiba’-nya terhadap sunnah” [idem, 14/374].

Ibnu Katsiir berkata :
كان بحرًا من بحور العلم، طاف البلاد ورحل إلى الآفاق في الحديث وطلب العلم، فكتب الكثير وصنف وجمع، وكتابه الصحيح من أنفع الكتب وأجلها، وهو من المجتهدين في دين الاسلام، حكى الشيخ أبو إسحاق الشيرازي في طبقات الشافعية عنه أنه قال: ما قلدتُ أحدًا منذ بلغت ست عشرة سنة

“Ia adalah laut dari lautan ilmu, mengembara ke berbagai negeri untuk mencari hadits dan ilmu. Lalu ia banyak mencatatnya, menulisnya, dan mengumpulkannya. Dan kitabnya Ash-Shahiih adalah kitab yang paling besar dan bermanfaat. Ia termasuk mujtahid dalam agama Islam. Asy-Syaikh Abu Ishaaq Asy-Syiiraaziy menghikayatkan dalam Thabaqaat As-Syaafi’iyyah darinya (Ibnu Khuzaimah), bahwasannya ia pernah berkata : ‘Aku tidak pernah bertaqlid kepada siapapun sejak aku berusia 16 tahun” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 11/170].

Ibnu ‘Abdil-Haadiy berkata :
الحافظ الثبت، إمام الأئمة، وشيخُ الإسلام، أبو بكر، محمد بن إسحاق بن خزيمة
“Seorang haafidh yang tsabat, imamnya para imam, syaikhul-Islaam, Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah” [Thabaqaat ‘Ulamaa Al-Hadiits, 2/441].

Muhammad bin Al-Fadhl berkata :
استأذنت أبي في الخروج إلى قتيبة، فقال: اقرإ القرآن أولا حتى آذن لك. فاستظهرت القرآن، فقال لي: امكث حتى تصلي بالختمة. ففعلت، فلما عيَّدنا، أذن لي، فخرجت إلى مرو، وسمعت بمرو الرُّوذ من محمد بن هشام صاحب هشيم، فَنُعِيَ إلينا قتيبة

“Aku pernah mendengar kakekku (Ibnu Khuzaimah) berkata : ‘Aku meminta ijin ayahku untuk keluar menemui Qutaibah’. Maka ayahku berkata : ‘Bacalah (hapalkanlah) Al-Qur’an terlebih dahulu, hingga aku berikan ijin kepadamu’. Aku pun menghapalkan Al-Qur’an’. Lalu ayahku berkata lagi : ‘Tinggallah dulu hingga engkau shalat dengan mengkhatamkan Al-Qur’an’. Lalu, aku pun melakukannya. Ketika kami merayakan hari raya ‘Ied, ayahku mengijinkanku. Aku pun keluar menuju daerah Marwi, dan aku mendengar di Marwi dari Muhammad bin Hisyaam, shahabat Husyaim. Lalu sampailah kepada kami khabar wafatnya Qutaibah” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/371].

Ibnu Khuzaimah berkata :
كنت إذا أردت أن أصنف الشيء أدخل في الصلاة مستخيرًا حتى يفتح لي، ثم أبتدئ التصنيف
“Dulu, jika aku hendak menulis sesuatu, maka aku mengerjakan shalat istikharah, hingga Allah membukakan bagiku, (setelah itu) lalu aku mulai menulis” [idem, 14/365].

Abu Ahmad Husainak pernah bertanya kepada Ibnu Khuzaimah : “Berapa hadits yang dihapal oleh syaikh (yaitu Ibnu Khuzaimah)”. Maka Ibnu Khuzaimah memukul kepalanya dan berkata :
ما أكثر فضولك ! ثم قال: يا بني! ما كتبتُ سوداء في بياض إلا وأنا أعرفه
“Betapa banyak kelebihan (bicara)-mu. Wahai anakku, tidaklah aku menulis tinta hitam di atas kertas putih kecuali aku mengetahui/menghapalnya” [idem, 14/373].

Ibnu Khuzaimah pernah ditanya : “Dari siapakah engkau mendatangi/mencari ilmu ?”. Ia menjawab :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "ماء زمزم لما شُرب له." وإني لما شربت سألت الله علمًا نافعًا
“Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Air zamzam itu sesuai dengan yang diinginkan peminumnya’. Dan aku ketika meminumnya berdoa kepada Allah agar memperoleh ilmu yang bermanfaat” [idem, 14/370].

Wafatnya
Ibnu Khuzaimah jatuh sakit pada malam Rabu, dan wafat malam Sabtu setelah ‘Isyaa’, tanggal 5 Dzulqa’dah di rumahnya pada usia 88 tahun. Ia dikuburkan di rumahnya yang kemudian (rumahnya tersebut) dijadikan pekuburan [Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Hibbaan, 9/156 dan Al-Ansaab, 2/362].
Abu Sa’iid bin Muhammad, saudara Ibnu Khuzaimah, berkata :
حضرت وفاة الإمام أبي بكر وكان يحرك إصبعه بالشهادة عند آخر رمق
“Aku hadir pada waktu wafatnya Al-Imaam Abu Bakr. Ia menggerak-gerakkan jari telunjuknya bersyahadat saat menjelang wafatnya” [At-Taqyiid, hal. 17].

Tulisannya
· Al-Haakim berkata :
مُصنفاته تزيد على مائة وأربعين كتابًا، سوى المسائل، والمسائل المصنفة أكثر من مائة جزء، وإن فقه حديث بريرة ثلاثة أجزاء، ومسألة الحج خمسة أجزاء
“Tulisan-tulisannya lebih dari 140 kitab selain dari Al-Masaail (permasalahan-permasalahan tertentu) yang mencapai lebih dari 100 juz. Dan tulisannya tentang fiqh hadits ada 3 juz, serta permasalahan haji ada 5 juz” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits, hal. 284].
· Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/374 dan Al-Alaam oleh Az-Zirkiliy 6/29].
· Shahiih Ibni Khuzaimah [Al-Majma’ul-Muassas li-Mu’jamil-Mufahras oleh Ibnu Hajar 1/286 & 502 dan Al-A’laam oleh Az-Zirkiliy 6/29].

Perkataan-Perkataannya dalam Permasalahan ‘Aqidah

o Sifat Istiwaa’ dan ‘Ulluw Allah di atas makhluk-Nya
من لم يُقرّ بأن الله تعالى على عرشه قد استوى فوق سبع سمواته فهو كافر بربه، يُستتاب فإن تاب وإلا ضُربت عنقه
“Barangsiapa yang tidak mengatakan bahasannya Allah ta’ala di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 285].
Ia berkata tentang firman Allah ta’ala QS. Al-Ghaafir ayat 36-37 :
وفي قوله {وإني لأظنه كاذبا} دلالة على أن موسى قد كان أعلمه أن ربه جلا وعلا أعلى وفوق
“Dan dalam firman-Nya : ‘dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta’ (QS. Ghaafir : 37) merupakan petunjuk bahwasannya Muusaa memberitahukan kepadanya (Fir’aun) bahwa Rabbnya adalah Tinggi dan Di atas (segala sesuatu)” [At-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah, 1/264].

o Sifat Ru’yah.
Ibnu Khuzaimah berkata dalam Kitaabut-Tauhiid :

باب ذكر البيان إن رؤية الله التي يختص بها أولياءه يوم القيامة هي التي ذكر في قوله { وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}
ويفضل بهذه الفضيلة أولياءه من المؤمنين، ويُحجب جميع أعدائه عن النظر إليه من مشرك ومتهود ومتنصر ومتمجس ومنافق كما أعلم في قوله {كلا إنهم عن ربهم يومئذ لمحجوبون}،


“Baab : Penyebutan penjelasan bahwasannya ru’yatullah (melihat Allah) yang dikhususnya denganya para wali-Nya pada hari kiamat yang disebutkan dalam firman-Nya : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat” (QS. Al-Qiyaamah : 22-23). Dan Allah melebihkan para wali-Nya dari kalangan orang-orang yang beriman dengan kelebihan ini. Dan Allah akan menghijab seluruh musuh-musuh-Nya dari kalangan orang-orang musyrik, Yahudi, Nashrani, Majusi, dan munafiq untuk melihat-Nya; sebagaimana diketahui dalam firman-Nya : ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka’ (QS. Al-Muthaffifiin : 15)”.

o Sifat Nuzuul dan Kaifiyyah.
رواها علماء الحجاز والعراق عن النبي في نزول الرب جل وعلا إلى السماء الدنيا كل ليلة، نشهد شهادة مقر بلسانه، مصدق بقلبه، مستيقن بما في هذه الأخبار من ذكر نزول الرب من غير أن نصف الكيفية، لأن نبينا المصطفى لم يصف لنا كيفية نزول خالقنا إلى سماء الدنيا، وأعلمنا أنه ينزل، والله جل وعلا لم يترك، ولا نبيه عليه السلام بيان ما بالمسلمين الحاجة إليه من أمر دينهم، فنحن قائلون مصدقون بما في هذه الأخبار من ذكر النزول غير متكلفين القول بصفته أو بصفة الكيفية إذ النبي لم يصف لنا كيفية النزول
“Para ulama Hijaaz dan ‘Iraaq telah meriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hadits tentang turunnya Rabb jalla wa ‘alaa ke langit dunia pada setiap malam. Kami bersaksi dengan satu persaksian yang terucap oleh lisan dan dibenarkan oleh hati, meyakini seluruh khabar yang menyebutkan turunnya Rabb tanpa mensifatkan adanya kaifiyyah. Hal itu dikarenakan Nabi kita Al-Mushthafaa tidak menjelaskan kepada kami kaifiyah turunnya Allah ke langit dunia. Namun kami mengetahui bahwasannya Allah itu turun. Dan Allah jalla wa ‘alaa dan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan penjelasan yang dibutuhkan kaum muslimin dari perkara agama mereka. Kami adalah orang-orang yang mengatakan dan membenarkan khabar-khabar ini tentang penyebutan an-nuzuul tanpa memperberat diri dalam perkataan tentang sifat-Nya atau sifat kaifiyyah saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepada kami kaifiyah turunnya (Allah)” [At-Tauhiid 2/289-290].

o Permasalahan Tasybiih.
نحن نقول: إن الله سميع بصير كما أعلمنا خالقنا وبارؤنا، ونقول: من له سمع وبصر من بني آدم فهو سميع بصير، ولا نقول أن هذا تشبيه المخلوق بالخالق
“Kami berkata : Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat sebagaimana Khaaliq kami telah memberitahukan kepada kami. Kami berkata kepada orang yang mempunyai pendengaran dan penglihatan : ‘Bahwasannya Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’. Kami tidak mengatakan hal ini sebagai bentuk penyerupaan makhluk kepada Khaaliq” [idem, 1/61].
Read More...

ALIRAN SESAT DALAM ISLAM

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Lihat pula Syarh Lum’atul I’tiqad Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 161)

Setelah membawakan perkataan Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antaranya:


* Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
 
* Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
 
* Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).”(Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161)

Kemudian Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah :

Rafidhah (Syi’ah) 
Mereka adalah orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53, pent)

Jahmiyah
Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shafwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabariyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallahul musta’an.

 
Khawarij
Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36, pent)

Qadariyah
Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.

Murji’ah
Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.

Mu’tazilah 
Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Imam Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabariyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.

Karramiyah
Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.

Kullabiyah 
Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu : hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163)

Syaikh Abdur Razzaq al-Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. 
Di antara firqah sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok al-Jaz’arah, begitu juga (gerakan) al-Ikhwan al-Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat al-Is’ad fii Syarhi Lum’atul I’tiqad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku ‘Jama’ah-Jama’ah Islam’ karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)
Read More...

HADITS MUSIK DARI ABDULLAH BIN ABBAS RADHIALLAHU'ANHUMA, TERNYATA TIDAK SHAHIH !!!

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:



أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: لاَ حَرَجَ

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ketika Hasan radhiyallahu 'anhu telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat radhiyallahu 'anhum duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan radhiyallahu 'anhu bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”


Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu.



Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat radhiyallahu 'anhum yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.



Tinjauan Sanad Hadits

Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu 'anhuma.



Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.



Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma dapat diketahui dari beberapa tinjauan.

Pertama, kelemahan sanadnya.

Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.

Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.

Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.



Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.



Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.



Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani.



Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata dalam riwayat Al-Atsram:

“Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”



Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata:

“Huwa dha’if (Dia lemah).”



Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata:

“Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”



Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu berkata:

“Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5



An-Nasa`i rahimahullahu berkata:

“Matruk (Ditinggalkan).”6



Al-Jauzajani rahimahullahu berkata:

“Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7



Ibnu Hibban rahimahullahu berkata:

“Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8



Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:

“Dha’if (lemah).”9



Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–:

“Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10



An-Nasa`i berkata:

“Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”



Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.



Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi:

“ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”

Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)



Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais:

“Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11





footnote:

1 Beliau adalah Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram Al-Anshari Al-Khazraji, penyair Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau meninggal tahun 54 H. Lihat Taqrib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-’Asqalani.

2 Beliau adalah Al-Hafizh Abul Qasim ‘Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah bin Abdillah Asy-Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir, meninggal tahun 571 H. 3 Lafadz bathil ketika digunakan untuk menghukumi sebuah hadits, semakna dengan lafadz maudhu’ atau makdzub atau hadza min ifkihi. Semuanya adalah lafadz-lafadz sharih (jelas) yang menunjukkan akan kepalsuan hadits. Wallahu a’lam.

4 Lafadz-lafadz jarh (pencacatan rawi) tersebut adalah istilah yang harus dipahami dan dicermati secara khusus dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil. Semua ibarat yang dilontarkan terhadap Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais adalah jarh (pencacatan) terhadap keduanya. Wallahu a’lam.

5 Ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, dan An-Nasa`i disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Jarh Wa At-Ta’dil (2/57).

6 Lihat Adh-Dhu’afa` wal Matrukin karya Al-Imam An-Nasa`i (1/33). Ibnu Abi Hatim juga menukilkan ucapan An-Nasa`i dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57).

7 Lihat Asy-Syajarah Fi Ahwalir Rijal karya Al-Jauzajani, hal. 240.

8 Lihat Al-Majruhin karya Ibnu Hibban Al-Busti (1/242).

9 Lihat Taqribut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.

10 Ucapan ‘Ali bin Al-Madini disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57). Lihat juga Ad-Dhu’afa` karya Al-‘Uqaili (1/245).

11 Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi (2/292)
Read More...

HARI RAYA JUM'AT

Sesungguhnya hari raya pekanan umat Islam adalah hari Jum’at yang dengannya Allah memuliakan umat ini, Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda :

خَيـْرُ يـَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيــْهِ الشَّمْسُ يــَوْمُ الْجُمُعةـَ رواه مسلم

“Hari terbaik yang matahari bersinar padanya adalah hari Jum’at” (HR. Muslim)



Oleh karena itu kita harus mengetahui nilai dan kekhususan hari ini, agar kita dapat beribadah, taat dan berdo’a serta bershalawat kepada nabi صلى الله عليه و سلم.




Hukum Shalat Jum’at

Shalat Jum’at wajib bagi kaum lelaki, yaitu sebanyak dua rakaat. Adapun dalil tentangnya adalah sebagai berikut:



1. Firman Allah عز و جل:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ) الجمعة :9

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah: 9)



2. Sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ رواه أبو داود

"Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjama'ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit." (HSR. Abu Daud)



3. Ijma' para ulama. Para ulama telah sepakat bahwa shalat Jum’at itu wajib hukumnya bagi laki-laki yang merdeka, baligh dan mukim yang tidak mempunyai udzur.(Lihat Al Ijma’, Ibnu Mundzir : 8)



Keutamaan Hari Jum’at

Hari Jum’at adalah hari yang penuh keberkahan, mempunyai kedudukan yang agung dan merupakan hari yang paling utama. Rasulullah صلى الله عليه ز سلم bersabda:

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُهْبِطَ وَفِيهِ تِيبَ عَلَيْهِ وَفِيهِ مَاتَ وَفِيهِ تَقُومُ السَّاعَةُ ...وَفِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُصَادِفُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ حَاجَةً إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهَا رواه أبو داود

"Sebaik-baik hari adalah hari Jum’at, pada hari itulah diciptakan Nabi Adam, pada hari itu dia diturunkan ke bumi, pada hari itu pula diterima taubatnya, pada hari itu pula beliau diwafatkan, dan pada hari itu pula terjadi Kiamat ... Pada hari itu ada waktu yang kalau seorang muslim shalat dan memohon keperluannya kepada Allah pada saat itu, niscaya akan diberikan kepadanya." (HR. Abu Daud)



Hal-hal yang Disunnahkan Dan Adab-adab di hari Jum’at

Hari besar ini memiliki adab-adab dan sunnah-sunnah, diantaranya :



1. Imam disunnahkan dalam shalat subuh membaca surah As-Sajadah dan Al-Insan dua surah penuh, sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه و سلم membaca keduanya. Hal itu dikarenakan kedua surah ini mengandung apa yang telah dan akan terjadi, dari awal penciptaan manusia hingga hari akhirnya, berkumpulnya seluruh makhluk dan mereka dibangkitkan dari kubur. Bukan karena sujud (tilawah) sebagaimana disangka oleh sebagian umat Islam –Wallahu A’lam-



2. Bersegera ke masjid. Banyak orang yang meremehkan masalah ini, sehingga terkadang sebagian mereka tidak bangkit dari tempat tidurnya atau keluar dari rumahnya kecuali setelah khotib naik ke mimbar. Sebagian lagi datang beberapa detik sebelum khatibnya naik.

Banyak hadits yang menganjurkan untuk bersegera dan memperhatikan masalah ini diantaranya sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلاَئِكَةٌ يَكْتُبُونَ اْلأَوَّلَ فَاْلأَوَّلَ فَإِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ طَوَوُا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ وَمَثَلُ الْمُهــَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِي يُهْدِي الْبَدَنَةَ ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَقَرَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الْكَبْشَ ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الدَّجَاجَةَ ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الْبَيْضَةَ رواه مسلم

“Bila hari Jum’at datang, maka di setiap pintu dari pintu-pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat orang yang datang satu persatu. Bila imam telah duduk maka mereka menutup catatan mereka lalu duduk mendengarkan khutbah. Orang yang pertama datang seperti orang yang bersedekah satu ekor unta, kemudian orang yang selanjutnya seperti bersedekah dengan satu ekor sapi, lalu kambing, ayam dan selanjutnya telur”. (HR. Muslim)



Jadi permisalan orang yang segera ke masjid untuk shalat Jum’at adalah bagaikan orang yang bertaqarrub kepada Allah عز و جل dengan harta. Maka orang yang bersegera datang telah mengumpulkan dua ibadah : ibadah fisik dan harta, sebagaimana yang terjadi pada hari Iedul Adha.



Dan termasuk kebiasaan orang-orang salaf bersegara ke masjid (untuk shalat Jum’at), diriwayatkan bahwa pada abad-abad pertama, mereka telah berangkat ke masjid sejak waktu sahur dan setelah subuh. Jalan-jalan penuh dengan orang-orang yang berjalan dengan pelita, mereka berdesakan ke masjid sebagaimana hari raya dan itu sudah menjadi kebiasaan mereka.



Dan diantara cara agar kita dapat bersegera ke masjid adalah meninggalkan begadang pada malam Jum’at, bersiap-siap pada pagi hari dengan meninggalkan kesibukan-kesibukan dunia, menyadari besarnya pahala dan berusaha mendapatkan keutamaan dan pemberian yang banyak dari Allah عز و جل.



3. Memperbanyak shalawat untuk Nabi. Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda

فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. رواه النسائي

“Maka perbanyaklah shalawat untukku pada hari (Jum’at) itu karena shalawat kalian akan sampai padaku”(HR. Nasaa’i)



4. Mandi pada hari Jum’at. Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda :

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ رواه البخاري ومسلم

“Bila salah seorang diantara kalian akan melaksanakan shalat Jum’at maka mandilah” (Muttafaqun Alaihi).



5. Memakai wangi-wangian, siwak dan memakai pakaian yang terbagus.

Sebagian orang meremehkan sunnah yang besar ini. Sebaliknya jika mereka akan menghadiri pesta atau acara tertentu, ia akan menggunakan wangi-wangian dan pakain yang terbagus. Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda :



مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاسْتَاكَ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَلَمْ يَتَخَطَّ رِقَابَ النَّاسِ ثُمَّ رَكَعَ مَا شَاءَ أَنْ يَرْكَعَ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَارواه أحمد

“Barang siapa yang mandi pada hari Jum’at, menggunakan siwak dan minyak wangi jika dia memilikinya, memakai pakaian yang bagus kemudian keluar hingga mendatangi masjid, tidak melangkahi leher (pundak) orang-orang (di masjid) kemudian shalat sunnah semampunya, diam ketika imam muncul tidak berbicara hingga selesai shalat, maka dosanya akan diampuni antar Jum’at itu dengan Jum’at yang sebelumnya” (HR. Ahmad).



6. Disunnahkan membaca surat Al-Kahfi, berdasarkan hadits Rasulullah صلى الله عليه و سلم :

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الجُمْعَــتَيْنِ. رواه الحاكم

“Barang siapa yang membaca surah Al-Kahfi pada hari Jum’at maka ia akan mendapatkan cahaya diantara dua Jum’at” (HR. Hakim). Dan tidak mesti membacanya di masjid tetapi yang utama segera membacanya meskipun di rumah.



7. Kewajiban diam mendengarkan khutbah serta berusaha memahami dan mengambil manfaat darinya. Sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ. رواه البخاري و مسلم

”Bila anda mengatakan kepada temanmu “Diamlah….!” Ketika imam sedang berkhutbah maka anda telah melakukan hal yang sia-sia” (Muttafaqun Alaihi)



8. Meninggalkan segala perbuatan yang sia-sia -seperti memain-mainkan kerikil- apabila imam sedang berkhutbah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :

وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا. رواه الترمذي

"Dan barang siapa yang bermain kerikil (ketika imam sedang berkhutbah pada hari Jum’at), maka sesungguhnya dia telah berbuat sia-sia." (HR. Tirmidzi)



9.Tidak mengganggu dan melangkahi pundak orang-orang di masjid hanya karena ingin mendekati imam. Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda kepada laki-laki yang melangkahi pundak orang-orang di masjid pada hari Jum’at ketika beliau sedang berkhutbah :

اِجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ. رواه أحمد

“Duduklah karena anda telah mengganggu orang lain dan terlambat” (HR Ahmad) dan ini tidak dilakukan kecuali orang yang terlambat.



10. Disunnahkan shalat empat rakaat atau dua rakaat setelah shalat Jum’at. Ini berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا.رواه مسلم

"Barangsiapa di antara kamu telah melaksanakan shalat, maka hendaklah shalat empat rakaat setelahnya." (HR. Muslim) Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما disebutkan:

أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى الْجُمُعَةَ انْصَرَفَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فِي بَيْتِه. رواه مسلم

"Bahwasanya beliau صلى الله عليه و سلم apabila telah melaksanakan shalat shalat Jum’at, (beliau) kembali lalu shalat dua rakaat di rumah beliau." (HR. Muslim) Sebagai pengamalan kedua hadits ini, sebagian ulama mengatakan bahwa seorang muslim apabila ingin shalat sunnah setelah Jum’at di masjid, maka dia shalat empat rakaat dan apabila dia shalat di rumah, maka dia shalat dua rakaat –Wallahu A’lam-

Apabila anda telah kembali dari masjid dan anda telah mendapatkan bagian anda berupa derajat dan kebaikan – Insya Allah – maka perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma’arif “Kalau mereka telah kembali dari shalat Jum’at pada saat terik siang hari, mereka ingat saat kembalinya manusia dari tempat hisab, apakah akan ke Surga atau ke Neraka, karena hari kiamat akan terjadi pada hari Jum’at dan sebelum tengah hari ahli surga telah istirahat di Surga dan penghuni neraka telah masuk ke Neraka”.

Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang yang menyembah Allah dengan ibadah yang sebenarnya, Shalawat dan salam untuk nabi kita Muhammad صلي الله عليه و سلم, keluarga dan seluruh shahabat-shahabatnya.
Read More...

BERPIKIRLAH WAHAI QUBURIYUN

Jika kuburan dianggap suci karena disekitarnya tumbuh pohon yang menaungi kuburan tersebut, sehingga penghuninya dikatakan wali Allah, dikeramatkan dan diminta berkah dari padanya.

maka bagaimanakah dengan penghuni Jannatul Baqi’, manakah yang lebih utama? Penghuni Jannatul Baqi’ atau penghuni kuburan keramat itu? Tapi, jangankan pohon yang menaungi, rumput pun jarang ditemui di Jannatul Baqi’



Jika seseorang dianggap wali Allah dan bertawassul kepadanya setelah matinya, hanya karena jasadnya yang tidak busuk dimakan zaman. Maka bagaimanakah dengan Fir’aun, seburuk-buruk manusia yang pernah hidup dimuka bumi? Allah berfirman atas dirinya.

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (Surah Yunus:92)
Utuh atau tidaknya jasad seseorang didalam kubur, tidaklah menjadi jaminan seseorang itu adalah orang shalih atau fajir.

Jika seseorang ngalap berkah ke kubur, karena meniru perbuatan Bilal bin Rabbah yang mencium kubur Nabi. Berpikirlah wahai penyembah kubur!! Apakah kisah ini benar?Kubur Nabi terletak di kamar beliau di rumah Aisyah, apakah mungkin Bilal masuk ke rumah aisyah tanpa izin? apakah mungkin Aisyah mengizinkan orang masuk kerumahnya hanya untuk menciumi makam Rasulullah?

Jika Aisyah mengizinkan, maka Aisyah yang lebih pantas menciumi makam kekasih hatinya itu, Aisyah lebih bebas menjenguk dan menciumi tanah kubur Rasulullah. Namun, adakah riwayat yang menjelaskan bahwa Aisyah menciumi tanah kuburan Rasulullah.
Read More...